Analisis Penalaran Hukum dan Area Etis Pengawasan Komisi Yudisial Pasca-Putusan MA Nomor 36P/HUM/2011


Oleh: Shidarta[1]

Tanggal 9 Februari 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah putusan bernomor 36 P/Hum/2011 terkait permohonan keberatan hak uji material terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 (selanjutnya disebut SKB). Putusan ini menarik perhatian karena majelis hakim menerima permohonan empat orang advokat untuk menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perudang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sebagai konsekuensinya, semua butir yang disebutkan di atas dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan memerintahkan kepada Ketua MA dan Ketua KY untuk mencabut butir-butir di atas. Panitera MA diperintahkan utuk mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara, serta biaya perkara sebesar satu juta rupiah dibebankan kepada para termohon (Ketua MA dan Ketua KY).

Tentu ada banyak aspek yang menarik seputar isi dan dampak putusan MA ini.[2] Tulisan ini membatasi diri hanya akan menelaah isi putusan MA berkenaan dengan pokok perkara berdasarkan perspektif penalaran hukum dan dimensi etis yang terkait di dalamnya. Berangkat dari telaahan ini selanjutnya akan diusulkan beberapa jalan keluar.

Peragaan Penalaran Hukum

Jika diperhatikan, inti persoalan dari permohonan ini berawal dari argumentasi tentang adanya inkonsistensi materi muatan SKB dengan dua undang-undang, yakni UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Perbandingan antara dua kelompok aturan itu adalah sebagai berikut:


Pasal-pasal dalam UU terkait yang dinilai dilanggar:
Butir-butir dalam SKB yang dinilai melanggar:
Ps. 40 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman:
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Butir 8:
8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.
8.2. Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
8.3. Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8.4. Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan
Butir 10:
10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik.
10.2. Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan
bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.
10.3. Hakim wajib mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain
secara profesional.
10.4. Hakim wajib menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan,
atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.
Ps. 41 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman:
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Ps. 32A UU Mahkamah Agung
Kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.


                Ada cara sederhana untuk memahami kedua kelompok aturan dalam tabel di atas, yakni dengan menganalisis masing-masing norma itu menurut (1) subjek norma, (2) operator norma, (3) objek norma, dan (4) kondisi norma.  Fokus dari ketentuan yang dijadikan patokan pelanggaran adalah Pasal 40 ayat (2), sedangkan pasal-pasal lain hanya memberi penegasan tentang otoritas yang membuat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) sebagaimana disinggung dalam Pasal 40 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Analisis terhadap semua ketentuan di atas akan menghasilkan sebuah struktur aturan sederhana sebagai berikut:

1.       Subjek norma            : Komisi Yudisial;
2.       Operator norma       : wajib (perintah);
3.       Objek norma             : bertugas melakukan pengawasan perilaku hakim [berdasarkan KEPPH]; [3]
4.       Kondisi norma           : a. dalam hal KY melakukan pengawasan;
       b. dalam hal KEPPH telah ditetapkan oleh MA dan KY.

                Jika mengacu pada struktur aturan di atas, maka dapat langsung dipahami bahwa sejak awal, niat para pemohon untuk pengujian materi ini adalah untuk mengurangi kewenangan KY, sekalipun MA justru diposisikan sebagai Termohon I dan KY sebagai Termohon II.[4] Melalui struktur aturan itu juga dapat diketahui bahwa KY baru diwajibkan menjalankan tugas pengawasan setelah ada KEPPH yang ditetapkan bersama oleh MA dan KY. Jika kewenangan dari subjek norma KY untuk melakukan pengawasan eksternal berdasarkan sejumlah butir KEPPH ini dibatalkan, maka berarti kewenangan melakukan pengawasan internal dari subjek norma MA pun juga ikut pula terbatalkan.
                Struktur aturan serupa seperti di atas dapat pula dibuat untuk setiap butir SKB yang dipermasalahkan. Namun, jika keseluruhan butir tersebut (kecuali butir 8.4) digabungkan, maka struktur aturannya kurang lebih menjadi sebagai berikut:


1.       Subjek norma            : Setiap hakim
2.       Operator norma       : wajib (perintah/keharusan)
3.       Objek norma             :
a.     mengetahui, mendalami, melaksanakan tugas pokok [sesuai perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan];
b.     menghormati hak-hak para pihak [dalam proses peradilan];
c.      berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara [secara sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku];
d.     membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan [untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan];
e.     mengambil langkah-langkah memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi [untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik];
f.      melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para hakim dan pejabat pengadilan lain [dalam menjalankan administrasi peradilan; secara tekun];
g.     mengutamakan tugas yudisial di atas kegiatan yang lain [secara profesional];
h.     menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak [dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya].

Khusus untuk butir 8.4, struktur aturannya dapat diformulasikan sebagai berikut:

1.       Subjek norma            : Ketua Pengadilan/Hakim yang ditunjuk;
2.       Operator norma       : wajib (perintah/keharusan);
3.       Objek norma             :
a.       mendistribusian perkara kepada Majelis Hakim [secara adil dan merata];
b.      menghindari pendistribusian perkara kepada hakim yang memiliki Konflik kepentingan.

Sangat menarik bahwa yang dijadikan “sasaran tembak” pengujian adalah kedelapan butir KEPPH di dalam SKB, sementara butir induknya, yaitu angka 8 dan 10 sama sekali tidak dipermasalahkan. Angka 8 KEPPH bertajuk “Berdisiplin Tinggi,” sedangkan angka 10 KEPPH “Bersikap Profesional”. Dengan dihapusnya butir-butir ini, berarti angka 8 dan 10 tidak lagi diberikan rumusan penerapannya, melainkan dibiarkan terumuskan secara abstrak. Amar putusan MA ini tidak eksplisit memerintahkan MA dan KY untuk melakukan susun ulang butir-butir yang dicabut itu, sekalipun dalam pertimbangan ada disebutkan kata-kata: “...dan selanjutnya perlu disusun atau diterbitkan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis dalam penerapannya untuk memperjelas dan memberikan definisi yang konkrit tentang bentuk-bentuk teknis pengawasan yang menjadi wewenang Mahkamah Agung dan pengawasan perilaku dan pelanggaran kode etik yang menjadi ranah kewenangan Komisi Yudisial,...[5]
Apabila kedua kelompok struktur aturan ini dihadap-hadapkan, yaitu antara kelompok Pasal 40 ayat (2), Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung versus kelompok penerapan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, maka sesungguhnya dapat dilihat, bahwa secara eksplisit tidak ada pertentangan prinsip di antara kedua struktur itu. Struktur aturan pertama dialamatkan ke KY, sedangkan struktur kedua ditujukan ke setiap hakim. KY diperintahkan oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan dan hakim adalah sasaran yang diawasinya. Untuk melakukan pengawasan itu, dikondisikan harus ada KEPPH yang ditetapkan bersama oleh MA dan KY. Amanat undang-undang itu sudah pula dilaksanakan melalui pemberlakuan SKB.
Permasalahan baru terlihat setelah pertimbangan-pertimbangan hukum dari majelis hakim disimak secara mendalam. Di situ terlihat bahwa analisis atas pertentangan struktur aturan KEPPH ternyata pertama-tama tidak dihadapkan dengan Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana diajukan pemohon. Pasal-pasal yang dikonfrontasikan melalui pertimbangan hakim justru pertama-tama adalah Pasal 39 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya ayat (4). Subjek norma dari pasal ini adalah MA, tetapi oleh majelis dianggap berlaku juga secara mutatis mutandis bagi KY dalam hal melakukan pengawasan eksternal. Jika bunyi penafsiran majelis hakim itu diformulasikan ulang secara bebas, maka kurang lebih akan tampak buah penalaran mereka menjadi berbentuk silogisme berikut ini:



Premis mayor
Semua lembaga negara yang mengawasi hakim adalah institusi yang TIDAK boleh melaksanakan pengawasan yang dapat mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Premis minor
MA dan KY adalah lembaga negara yang mengawasi hakim.
Konklusi
MA dan KY adalah institusi yang TIDAK boleh melaksanakan pengawasan yang dapat mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Dalam silogisme di atas, MA dan KY diposisikan oleh majelis hakim dalam posisi sejajar, yakni sebagai sesama lembaga pengawas. Baru pada penalaran berikutnya, majelis hakim menyatakan bahwa sumber kewenangan kedua lembaga tersebut berbeda. MA mendasarkan kewenangannya pada Pasal 39, sedangkan KY pada Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman.
Dengan menggunakan rumusan Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman, majelis ingin menonjolkan kata “perilaku hakim” sebagai area pengawasan KY. Hal ini berbeda dengan area pengawasan MA yang mencakup tiga bidang sekaligus, yaitu teknis yuridis, administrasi, dan perilaku hakim. Namun, majelis hakim kemudian menambahkan bahwa di bidang teknis yuridis pun ada kewenangan KY, yakni dengan pembatasan hanya pada analisis putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 42 UU Kekuasaan Kehakiman). Area kewenangan di atas lalu dipertentangkan dengan butir 8.1 yang menurut pertimbangan majelis sama sekali tidak masuk ke dalam cakupan kedua area itu. Soal pengetahuan atau pemahaman, menurut majelis, masuk ke wilayah kognitif bukan wilayah perilaku (behavior). Gaya bernalar demikian kembali dapat diformulasikan secara bebas dalam pola silogisme berikut:

Premis mayor
Semua perilaku hakim dan teknis yuridis tertentu (analisis putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) adalah area pengawasan KY.
Premis minor
Kewajiban hakim mengetahui dan mendalami peraturan perundang-undangan adalah BUKAN perilaku hakim dan BUKAN teknis yuridis tertentu (analisis putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap).
Konklusi
Kewajiban hakim mengetahui dan mendalami peraturan perundang-undangan adalah BUKAN area pengawasan KY.

Sayangnya, majelis hakim tidak bersedia membaca rumusan butir 8.1 secara lengkap. Butir 8.1 tidak boleh dipotong hanya sampai pada kata-kata “mengetahui dan mendalami” tetapi harus diteruskan sampai pada “SERTA melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku...(dan seterusnya)”. Kata sambung “SERTA” pada rumusan itu menunjukkan keseluruhan rumusan butirnya sebagai satu kesatuan.
Selain butir 8.1, ada butir lain yang juga dimaknai sama, yaitu butir 10.4. Bunyi butir itu adalah: “Hakim wajib menghindari menghindari terjadinya kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan sengaja membuat pertimbangan yamg menguntungkan terdakwa atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang ditanganinya.” Menurut majelis hakim, pasal ini adalah di dalam wilayah kognisi. Apakah benar demikian?
 Untuk memetakan secara tegas mana yang termasuk wilayah kognisi dan mana wilayah perilaku, seyogianya digunakan analisis dengan menggunakan dasar teoretis tertentu. Majelis hakim MA, sayangnya, sama sekali tidak bersedia menunjukkan dasar referensi mereka.  Apa yang disampaikan oleh Sussanne K. Langer dalam bukunya “Philosophy in A New Key” (1948) dan “Feeling and Form” (1952) mungkin bisa membantu memberikan pembedaan antara konsep “wilayah koginisi” dan “wilayah perilaku” sebagaimana disebut-sebut dalam putusan. Menurut filsuf Amerika keturunan Jerman tersebut, pada saat kita mendapatkan informasi tertentu, maka informasi itu akan kita cerna dalam bentuk diskursif. Cernaan ini memang sepenuhnya bersifat kognitif. Jadi, bila diterapkan dalam konteks butir 8.1, berarti tatkala hakim mendapat informasi-informasi terkait fakta hukum dan dasar hukum untuk kasus yang ditanganinya, ia wajib mencerna semua informasi itu. Pencernaan ini, sekali lagi, dilakukan secara kognitif. Pada langkah berikutnya, hakim tentu harus menuangkan hasil serapan kognitifnya itu dalam format putusan. Penuangan ini termasuk kategori presentasional, yang oleh Sussanne K. Langer dinyatakan sebagai karya yang bersifat ekspresif. Dengan meminjam kerangka berpikir demikian, jelaslah bahwa ada perbedaan wilayah kognisi dan wilayah perilaku. Sesuatu yang masih berada di dalam wilayah kognisi, tidak akan mungkin bisa diamati. Namun, ketika serapan kognisi itu diekspresikan menjadi sebuah karya presentasional, ia menjadi dapat diamati oleh orang lain lagi. Orang lain ini kembali melakukan serapan kognitifnya, untuk mungkin akan diekspresikan lagi kepada orang lain berikutnya. Dapat diduga, bahwa pada setiap karya presentasional yang baru, sangat terbuka ada penambahan atau pengurangan dari karya persentasional sebelumnya. Demikian rangkaian seperti itu terus berulang.[6]
Jadi, apabila hakim menerbitkan sebuah putusan, maka putusan itu hakikatnya adalah suatu karya presentasional yang bersifat ekspresif. Dengan meminjam kalimat majelis hakim MA ini, wilayah ekspresif ini disebutkan sebagai “wilayah perilaku”. Justru karena sudah masuk ke dalam wilayah perilaku itulah maka putusan itu dapat dicermati dan diberikan penilaian orang lain. Artinya, mustahil bagi KY untuk dapat menilai wilayah kognisi hakim sebelum hakim itu menuangkannya ke dalam putusan.
Argumentasi di atas dapat saja dibantah oleh majelis hakim MA dengan menyatakan bahwa kekurangpengetahuan dan kekurangpendalaman hakim itu seharusnya tidak perlu dinilai oleh KY, tetapi bisa dinilai melalui mekanisme upaya hukum sebagaimana diatur dalam hukum acara.
Komisi Yudisial jelas tidak dapat ikut serta dalam pengawasan melalui mekanisme upaya hukum ini. Oleh sebab itulah KY disebut sebagai pengawas eksternal. Kendati demikian, perlu diingat bahwa setiap putusan hakim selalu diucapkan di muka umum. Menurut UU Keterbukaan Informasi Publik, putusan hakim juga termasuk kategori informasi publik. Dengan demikian, pada detik putusan itu dibacakan, pada detik itu juga putusan itu menjadi milik publik (public domain). Selain itu , publik pun (khususnya komunitas hukum), sangat perlu untuk diajak ikut serta mencermati putusan-putusan pengadilan, mengingat konsekuensi yang tidak kecil dari berlakunya jargon “res judicata pro veritate habetur.” Dengan demikian, sebenarnya sah-sah saja jika putusan pengadilan  yang telah dipublikasikan itu dinilai oleh publik. Apabila publik diberi keleluasaan untuk menilai, mengapa KY harus dikecualikan dari keleluasaan demikian?
Majelis hakim MA dalam putusan ini kurang lebih mengatakan bahwa KY perlu “dikecualikan” dari keleluasaan demikian karena dengan keleluasaan itu terbuka peluang bagi KY untuk mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Misalnya, KY dikhawatirkan akan berwenang memanggil hakim-hakim yang diduga telah melakukan kekeliruan itu, sehingga hal ini dipandang termasuk ke dalam kategori membahayakan kemandirian hakim. Untuk tidak menunjukkan pandangan majelis hakim yang tendensius menolak keberadaan KY dan KEPPH, majelis hakim MA kemudian dalam pertimbangannya mencoba sedikit menetralisasi pandangannya dengan kata-kata sebagai berikut:

Akan tetapi Majelis Hakim berpendapat, jika memang ditemukan oleh Komisi Yudisial adanya indikasi yang didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup bahwa kekeliruan itu dilakukan dengan sengaja, masalah ini masuk ke dalam wilayah pengawasan “perilaku”, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Komisi Yudisial secara sendiri atau bersamaan.

Pernyataan dalam pertimbangan majelis hakim MA ini sangat penting untuk dicermati secara hati-hati karena berpotensi memunculkan kesesatan petitio principii. Majelis hakim mengatakan KY boleh melakukan pengawasan jika ditemukan adanya bukti awal yang cukup tentang kesengajaan kekeliruan hakim terhadap penerapan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, khususnya butir 8.1 dan 10.4. Konteks pengawasan demikian, menurut majelis hakim, termasuk ke dalam wilayah pengawasan perilaku.  Berangkat dari rumusan pertimbangan hukum versi majelis hakim MA tersebut, maka kurang lebih dapat dipaparkan definisi wilayah pengawasan perilaku itu akhirnya menjadi sebagai berikut:[7]

Wilayah pengawasan perilaku adalah area kewenangan KY dan/atau MA dalam menindaklanjuti temuan yang mengindikasi hakim untuk sengaja keliru dalam menerapkan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, dengan persyaratan bahwa temuan itu didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup.

Apabila benar inilah tawaran formulasi ulang atas rumusan butir-butir 8.1 dan 10.4 yang disarankan oleh majelis hakim MA, maka bagi KY sebenarnya tidak harus ada keberatan yang berarti. Sebab, KY berarti diminta untuk selalu melengkapi temuan-temuannya dengan bukti awal yang cukup. Dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti awal ini, KY berarti sangat boleh menganalisis putusan-putusan yang mengindikasikan keganjilan tertentu. Bukankah sebagian besar indikasi itu justru bertolak dari putusan? Oleh karena putusan hanya terdiri dari kumpulan teks, maka kesengajaan kekeliruan itu tidak akan dapat ditemukan di sana. Cara satu-satunya yang paling elegan adalah dengan meminta klarifikasi langsung dari hakim dan/atau pihak-pihak lain terkait di dalam perkara itu.
Pada titik ini perdebatannya menjadi sangat klasik, yaitu analisis putusan dan permintaan klarifikasi ini lalu ditafsirkan sebagai bentuk “ancaman” terhadap kemandirian hakim dan/atau intervensi ke dalam ranah teknis yudisial. Padahal, jika saja cara-cara permintaan keterangan itu disiapkan dan disepakati bersama, maka perdebatan seputar hal teknis ini seharusnya dapat diakhiri. Pekerjaan penyusunan tata cara dan instrumen demikian memang tidaklah mudah, tetapi dengan antara lain bantuan ahli-ahli etika profesi dan para profesional hukum, tidak ada kesulitan yang tidak bisa teratasi.

Dimensi Etis

Dalam pertimbangan hukum yang diajukan oleh majelis hakim MA dalam kasus ini, terdapat sebuah isu etis yang tampil ke permukaan. Saat majelis hakim memuat pertimbangan atas butir 10.4, tercantum kata-kata sebagai berikut:
Kewenangan pengawasan teknis yuridis dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui penggunaan upaya-upaya hukum sesuai hukum acara oleh para pihak berperkara. Kewenangan Komisi Yudisial bersumber pada Pasal 40 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, yaitu pengawasan atas perilaku hakim sebagai bentuk pengawasan eksternal. Dengan demikian, pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial menurut ketentuan Undang-Undang harus semata-mata menyangkut “perilaku hakim” guna menegakkan martabat dan kehormatan hakim. Kewenangan atas masalah teknis hukum hanya sebatas kewenangan menganalisis putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (BHT) sesuai ketentuan Pasal 42 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, sehingga tidak ada dasar hukum kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk melakukan tugas pengawasan teknis hukum terhadap kasus yang belum berkekuatan hukum tetap.

Sekalipun tidak eksplisit disebutkan, ada kesan dari pertimbangan di atas, ditambah dengan amar berupa pencabutan atas delapan butir KEPPH, menggarisbawahi bahwa penghormatan hakim terhadap hukum acara dipandang hanya bersentuhan dengan masalah teknis yuridis yang ada di bawah kewenangan MA untuk mengawasinya.
Atas dasar kesan ini, patut dipertanyakan, benarkah hukum acara (hukum formal) lebih bersentuhan pada dimensi hukum daripada dimensi etis? Apabila mengikuti pandangan demikian, kita disadarkan bahwa uraian tentang moralitas (sebagai bahan kajian etika) menjadi penting untuk diangkat kembali. Ulasan berikut ini, sekalipun agak berbau filosofis, kiranya  diperlukan untuk mendudukkan secara tepat dan proporsional tenteng hakikat pengawasan yang seyogianya diperankan oleh KY. Pandangan Lon F. Fuller berikut ini mungkin menarik untuk disimak.
Lon F. Fuller dalam bukunya “The Morality of Law,” (1969) pertama-tama membedakan antara moralitas kewajiban (the morality of duty) dan moralitas aspirasi (the morality of aspiration). Moralitas kewajiban ditujukan kepda para warga masyarakat sedangkan moralitas aspirasi diarahkan ke individu. Moralitas kewajiban selalu terbuka untuk diubah atau ditransformasikan ke hukum positif. Moralitas ini juga bisa dipaksakan dengan sanksi. Di sisi lain, moralitas aspirasi lebih ditujukan untuk kesempurnaan individu sebagai manusia yang baik. Moralitas demikian tidak bisa dipaksakan atau ditransformasikan ke hukum positif.
Moralitas kewajiban adalah moralitas hukum yang sebenarnya. Moralitas hukum ini masih bisa dibagi lagi menjadi moralitas hukum internal (inner morality of law) dan moralitas hukum eksternal (outer morality of law). Moralitas hukum internal berisi syarat-syarat formal yang harus dipenuhi agar sesuatu moralitas dapat disebut hukum.  Sementara itu, moralitas hukum eksternal adalah syarat-syarat substansial agar hukum bisa berfungsi mencapai keadilan dan kebenaran.
Sampai di sini segera dapat diketahui bahwa Lon F. Fuller menunjukkan betapa moralitas hukum internal itu bersinggungan langsung dengan hukum acara. Jadi, hukum acara sebenarnya ada di dalam aras internal sebuah sistem hukum. Ketika Fuller menunjukkan ada delapan prinsip legalitas, maka terlihat bahwa kedelapan prinsip legalitas itupun merupakan asas-asas penting hukum formal.
Dengan demikian, tuntutan agar hakim menghormati ketentuan hukum acara, dalam perspektif ini, harus dilihat sebagai tuntutan etis terhadap profesi hakim. Dalam ketentuan-ketentuan formal itu diberikan koridor perilaku supaya aparat penegak hukum, termasuk hakim, tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya. KY dengan demikian, tidak akan keliru bila tetap menjadikan penghormatan hakim terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara dalam sebuah putusan sebagai indikasi atas dugaan pelanggaran KEPPH.

Beberapa Jalan Keluar

Ada beberapa kemunginan yang bisa dijajaki seiring keluarnya putusan MA ini. Usulan-usulan ini di luar kemungkinan KY melakukan upaya hukum luar biasa atas putusan tadi.

Pertama, dapat dipikirkan agar KY tidak perlu merespon apa-apa terhadap putusan ini. Hal demikian bisa dilakukan karena rumusan induk pada butir 8 dan 10 tidak ikut diminta pembatalannya dalam putusan ini. Berangkat dari pengertian sedikit abstrak dari butir-butir ini, KY masih bisa tetap melakukan aktivitas pengawasannya seperti biasa (business as usual).
Kedua, KY menjadikan pertimbangan hakim yang menyatakan “Wilayah pengawasan perilaku adalah area kewenangan KY dan/atau MA dalam menindaklanjuti temuan yang mengindikasi hakim untuk sengaja keliru dalam menerapkan butir-butir 8 dan 10 KEPPH, dengan persyaratan bahwa temuan itu didukung oleh bukti-bukti awal yang cukup” sebagai tafsiran yang disodorkan oleh majelis hakim MA. Oleh sebab itu, tindakan KY untuk melakukan analisis putusan hakim dan klarifikasi kepada hakim serta pihak-pihak terkait dalam suatu perkara, harus dipandang sebagai upaya mencukupkan bukti-bukti awal tersebut.
Ketiga, KY menggandeng MA untuk bersama-sama menambal butir-butir yag telah dibatalkan melalui putusan majelis hakim MA ini. Di sini dituntut itikad baik dari pihak KY dan MA sebagai sama-sama termohon dalam perkara ini untuk memperbarui komitmen melakukan pengawasan terhadap insan-insan peradilan kita.


Jakarta, 5 Maret 2012


[1] Dosen untuk mata kuliah filsafat hukum dan penalaran hukum di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, Bandung, dan Semarang. Ia juga adalah Pengurus Epistema Institute dan Sekretaris Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir ia terlibat sebagai anggota tim analis Komisi Yudisial untuk penelitian putusan-putusan pengadilan. Makalah ini dibawakan dalam diskusi di Gedung YLBHI Jakarta, 5 Maret 2012.
[2] Hal-hal terkait dengan ius standi pemohon, konflik kepentingan para hakim, dan status SKB sebagai peraturan perundang-undangan atau peraturan kebijakan, adalah beberapa masalah di luar pokok perkara yang bisa diinventarisas.Para advokat yang menempatkan diri sebagai pemohon berkeyakinan kepentingan hukum mereka telah dirugikan dengan butir-butir dalam SKB itu, tetapi patut juga dipertanyakan mengapa selama ini justru advokat-advokat lain banyak yang memanfaatkan kompetensi KY melalui butir-butir tersebut, sebagaimana terlihat dari banyaknya pengaduan ke KY melalui jasa para advokat ini.
[3] Keterangan di dalam tanda kurung siku [...] ini sebenarnya juga bisa diposisikan sebagai kondisi norma. Pengertian kondisi norma dalam analisis ini dimaknai luas, tidak hanya sekadar soal waktu dan tempat berlakunya norma, melainkan termasuk juga syarat-syarat dan sebab-akibat (kondisional) yang terkait dengan tindakan (kata kerja) sebagaimana tercantum pada objek norma. Biasanya kondisi norma bisa dikenali antara lain dari anak kalimat dengan diawali kata-kata: “dalam hal...,“secara...,” atau “jika....” Juga kata-kata yang menunjukkan kondisi yang diharapkan akan terjadi bila melakukan tindakan itu, misalnya dengan kata-kata “untuk...,”agar/supaya...” atau “sehingga...”.
[4] Dengan status sebagai termohon, MA mungkin dapat berkilah bahwa secara institusional ia sebenarnya ikut “dikalahkan” dalam putusan ini, namun tidak dapat disangkal bahwa MA telah memberi apresiasi atas putusan ini. Dalam situs resmi MA, putusan ini ternyata dikategorikannya sebagai “yurisprudensi”. Untuk itu lihat: <http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/bd890ad5515aa04a691b00ec36c38c9a> akses tanggal 2 Maret 2012. Sayangnya tidak jelas kaidah hukum apa yang menjadi petunjuk adanya yurisprudensi dimaksud.
[5] Ada analogi yang bisa diajukan dalam hal ini, yaitu terhadap putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003 ketika beberapa pasal dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibatalkan oleh MK. Salah satu pasal yang dinyatakan tidak lagi mengikat adalah Pasal 158 yang memuat alasan-alasan pihak pengusaha untuk memutuskan hubungan kerja. Dengan hapusnya pasal ini, tidak lalu berarti pengusaha tidak dapat memutuskan hubungan kerja. 
[6] Tentu tidak semua karya presentasional harus dicerna secara kognitif dan diekspresikan kembali. Sebagai contoh, apabila kita mendengar sebuah lagu asing yang makna syairnya tidak dimengerti , kita tentu tetap bisa menikmati lagu itu sebagai sebuah karya estetis. Juga tidak ada keharusan pula, misalnya, untuk menyanyikan kembali atau mengomentari lagu tersebut kepada pihak lain.
[7] Dalam kaitannya dengan supra catatan kaki nomor 4, seandainya ingin tetapjuga dicari ada tidaknya sebuah kaidah yurisprudensi dalam putusan ini, maka barangkali formulasi tentang makna “wilayah pengawasan perilaku” inilah yang mendekati sebuah penemuan hukum. Penafsiran atas pengertian ini jelas merestriksi makna butir 8 dan 10 KEPPH. Lazimnya sebuah penemuan hukum yang bernilai tinggi sebagai yurisprudensi diperoleh dari penafsiran yang memperluas, bukan mempersempit. 

No comments:

Post a Comment