Akuntabilitas Publik Melalui Eksaminasi Putusan Hakim


Oleh: Shidarta

K
ehadiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) membawa angin segar bagi masyarakat yang mendambakan sistem peradilan yang lebih akuntabel. Pasal 18 dari undang-undang ini menyatakan, bahwa putusan badan peradilan adalah informasi yang tidak boleh dikecualikan untuk dibuka kepada publik. Ini berarti, putusan hakim bisa diakses oleh siapa saja begitu putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Kemudahan mengakses putusan hakim terutama sangat diperlukan untuk keperluan eksaminasi putusan oleh publik. Eksaminasi publik ini sangat bermanfaat karena dapat menambah bobot akuntabilitas publik dari putusan itu. Bahkan, level akuntabilitas publik merupakan indikator pencapaian tingkatan keluhuran martabat sistem peadilan dan profesi hakim.
Tulisan singkat ini secara khusus menyoroti arti penting dari akuntabilitas publik dalam kaitannya dengan eksaminasi putusan hakim. Untuk itu, tulisan akan dibuka dengan pembahasan tentang makna akuntabilitas publik, sehingga pada akhirnya dapat dipahami keterkaitan konsep akuntabilitas tersebut dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas putusan-putusan hakim yang argumentatif dan bernas (motivering vonis). Pada bagian berikutnya akan disinggung karakter akuntabilitas publik beserta ruang lingkupnya, sebelum akhirnya ditutup dengan sejumlah catatan.

Makna Akuntabilitas Publik

Kata ”akuntabilitas” diambil dari akar kata "account" yang berarti laporan atas sesuatu yang sudah dilakukan. Mereka yang mampu memberikan jawaban (laporan) atas sesuatu yang telah dilakukannya adalah mereka yang bertanggung jawab (accountable; being answerable for the actions). Pertanggungjawaban inilah yang kerap disebut akuntabilitas (accountability). Kata ini kerap juga dikait-kaitkan dengan soal hitung-hitungan keuangan. Oleh sebab itu, "account" juga dapat berarti catatan detail tentang uang yang diterima dan dibelanjakan. Dan, ilmu yang berhubungan dengan tata cara perhitungan keuangan ini diberi sebutan akuntansi.
Miriam Budiardjo (1998) mengartikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban dari pihak yang diberi "mandat untuk memerintah" kepada mereka yang memberi mandat itu. Pengertian yang diberikan Miriam di atas memperlihatkan ada hierarki di antara pemberi mandat dan penerima mandat. Dalam struktur pemerintahan, hierarki ini memang mudah terlihat, namun tidak demikian halnya dalam struktur kehidupan sosial. Akuntabilitas publik boleh jadi tidak bisa berjalan baik dalam kebanyakan interaksi sosial karena pihak yang harus bertanggung jawab merasa tidak ada kewenangan apapun dari publik untuk meminta pertanggungjawaban kepadanya.
Henry McCandless (2007) mendefinisikan accountability dengan kata-kata: "...the obligation to explain – to report, at the time it is needed, how responsibilities are being carried out." Dalam definisi tersebut terselip kata "responsibility". Kata responsibilitas memang sering dirancukan dengan akuntabilitas, demikian pula halnya dengan kata "liabilitas" (liability). Kebetulan ketiga kata itu dalam bahasa Indonesia semuanya acapkali diterjemahkan dengan satu kata saja, yakni tanggung jawab. Padahal, masing-masing kata ini memiliki makna yang berbeda.
Responsibilitas berasal dari kata "response" yang berarti tanggapan. Jika seseorang bertanya dan orang yang ditanya dapat memberikan tanggapan dengan cepat dan tepat, maka orang yang ditanya ini disebut responsif (responsive). Responsif dengan demikian membutuhkan kemampuan bereaksi dengan tata cara yang proporsional dan dalam waktu yang segera. Sekalipun demikian, tidak semua yang segera itu baik. Ada juga reaksi yang cepat tetapi tidak terkontrol dan dengan tata cara yang tidak proporsional, yang lazim disebut dengan impulsi (impulse atau impulsion). Sifat dari impulsi ini disebut impulsif (impulsive). Responsif bermakna positif, sementara impulsif berkonotasi negatif.
Responsibilitas merupakan pemaknaan umum tentang tanggung jawab. Ia bisa berarti tanggung jawab secara moral dan bukan moral. Pemaknaan yang lebih khusus adalah liabilitas. Istilah "liabilitas" seringkali dialihbahasakan menjadi "tanggung gugat" yaitu tanggung jawab secara hukum. Kita sering mendengar kata-kata dalam bahasa hukum, misalnya corporate liability, liability based on fault, atau strict liability. Semua kata liabilitity tersebut mengacu kepada pertanggungjawaban dari aspek hukum.
Dalam sebuah hadits pernah dikisahkan Nabi Muhammad SAW bersabda, "Setiap orang adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan dimintakan pertanggung-jawabannya." Hal yang sama juga dikisahkan dalam buku Mercator oleh penulis Plautus, "Egomet sum mihi imperator," yang artinya akulah yang menjadi pemimpin bagi diriku sendiri.
Dengan demikian, kemampuan untuk bertanggung jawab sesungguhnya merupakan suatu yang hakiki sepanjang kehidupan manusia sebagai pemimpin di atas dunia. Semua agama mengajarkan tentang derajat kepemimpinan manusia di atas dunia, misalnya dengan konsep sebagai khalifatullah fil ardli  (Islam) atau imago Dei (Kristen). Ada beberapa faktor yang menyebabkan kesimpulan tentang kepemimpinan manusia tersebut.
Pertama, manusia adalah satu-satunya mahluk yang dibekali dengan kapasitas memadai atas hati nurani dan akal budinya. Mahluk selain manusia mungkin saja memiliki hati nurani untuk menyayangi anak-anaknya, atau mempunyai akal tertentu untuk mengumpulkan makanan. Namun, semua kapasitas ini sangat terbatas sehingga hati nurani dan akal budi itu tidak dapat berkembang untuk hal-hal di luar rutinitas yang sekadar demi mempertahankan hidup (survival). Keadaan ini berbeda dengan manusia. Mahluk manusia memiliki hati nurani dan akal budi yang berpotensi besar untuk dikembangkan, sehingga kecintaannya tidak lagi hanya terbatas pada diri dan keluarga sendiri, melainkan juga meluas kepada subjek-subjek lain seperti kepada sesama manusia, binatang, alam semesta, bahkan Tuhan Sang Pencipta. Dengan hati nurani dan akal budi inilah manusia bisa memutuskan apa yang terbaik bagi kehidupannya, dan setiap keputusan itu harus dipertanggungjawabkan.
Kedua, manusia memiliki kebebasan untuk berbuat dan tidak berbuat. Kata "bebas" di sini berarti kebolehan untuk mengambil sikap dan tindakan menurut pilihan hati nurani dan akal budi sebagaimana telah disebutkan di muka. Tentu saja tidak ada manusia yang bisa berbuat bebas sebebas-bebasnya. Pembatasan kebebasan manusia selalu saja terjadi karena memang manusia tidak hidup sendiri. Jadi, kebebasan manusia mungkin dikurangi karena ada pembatasan sosial. Contoh pembatasan sosial ini adalah norma-norma sopan santun dan norma hukum. Selain pembatasan sosial (datang dari luar atau heteronom), ada juga pembatasan yang berasal dari diri sendiri (otonom), yang disebut pembatasan eksistensial. Sebagai contoh sederhana, manusia bebas untuk makan hidangan yang enak-enak, tetapi ternyata sampai batas tertentu makanan itu tidak lagi memberikan kenikmatan dan pada akhirnya ia terpaksa harus berhenti makan juga.
Kemampuan kita untuk mempertanggunjawabkan sikap dan perilaku kita, dengan demikian, memang mencerminkan hakikat kemanusiaan kita. Artinya, kita bertanggung jawab karena kita manusia yang telah dibekali hati nurani dan akal budi yang melebihi kemampuan mahluk manapun. Dan sebaliknya, kita baru pantas disebut manusia jika kita dapat bertanggung jawab, khususnya atas perilaku yang sudah dilakukan.

Karakter Akuntabilitas Publik

Bagi seorang pemimpin, baik dalam lingkup terbatas maupun luas, wajib menjunjung tinggi prinsip-prinsip akuntabilitas ini. Makin luas lingkup kepemimpinannya, makin tinggi derajat akuntabilitas tersebut. Jika lingkup tugasnya mencakup kepentingan suatu organisasi yang terkait dengan kepentingan masyarakat luas, maka akuntabilitas ini disebut akuntabilitas publik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa badan-badan peradilan adalah organisasi yang terkait dengan kepentingan masyarakat luas, khususnya kepentingan para pencari keadilan. Dan, di dalam organisasi ”benteng keadilan” itu terdapat hakim-hakim sebagai pejabat publik yang bekerja memimpin jalannya persidangan. Di tangannya dimensi aksiologis hukum, yakni keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dipertaruhkan. Praktis tidak ada profesi lain yang paling dituntut akuntabilitas publiknya sebesar tuntutan terhadap profesi hakim.
Untuk dapat dimintakan akuntabilitas publiknya, setiap orang yang menjadi pejabat publik layak dibekali dengan sejumlah persyaratan. Semua persyaratan ini adalah juga karakter penting dari akuntabilitas publik. Karakter-karakter itu adalah sebagai berikut:

1.  Akuntabilitas publik harus berangkat dari kewenangan yang diberikan
Seseorang baru dapat akuntabel jika ia memiliki kewenangan untuk melaksanakan pekerjaannya. Kewenangan di sini harus dibedakan dengan kekuasaan. Tidak semua kekuasaan merupakan kewenangan, namun sebaliknya setiap kewenangan mengandung kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk "memaksa" orang lain menjalankan kehendaknya. Sementara itu, kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan pengakuan, khususnya pengakuan dari masyarakat atau orang lain yang ada di bawah kekuasaannya itu. Akuntabilitas publik harus berangkat dari kewenangan, bukan sekadar kekuasaan.
Akuntablitas publik yang tidak dilaksanakan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki adalah akuntabilitas yang "salah arah". Oleh sebab itu, setiap hakim harus benar-benar memahami batas-batas kewenangan yang dimilikinya. Yang bersangkutan wajib menjalankan tugas menurut batas-batas kewenangan tersebut. Batas-batas itulah yang menjadi koridor yang harus dihormati, dijaga, dan dipelihara dengan baik, justru pertama-tama oleh para hakimnya sendiri. Jika tidak, bukan tidak mungkin suatu ketika kewenangan ini tidak lagi mendapat legitimasi publik, sehingga ia lalu berubah wujud menjadi ”pamer” kekuasaan semata.

2.   Akuntabilitas publik telah eksis dengan sendirinya, tidak perlu dituntut
Akuntabilitas publik juga bersinggungan erat dengan moralitas. Moralitas itu tetap ada sekalipun manusia mengabaikannya. Tatkala menggambarkan tentang moralitas, ada sebuah pernyataan filsafati dari Martin Heidegger: "Der Ruf kommt aus mir und doch uber mich" (panggilan itu timbul dari dalam diriku, tetapi juga mengatasi diriku). Demikianlah moralitas itu biasanya ditempatkan, yakni sebagai suatu panggilan dari dalam diri manusia, tetapi kedudukan moral itu sesungguhnya lebih tinggi daripada diri manusia itu sendiri.
Ungkapan di atas dapat diterjemahkan menjadi lebih sederhana, bahwa manusia harus hidup dengan memperhatikan suara batinnya sendiri jika ingin disebut hidup secara bermoral. Tanpa moral manusia sesungguhnya tidak lagi layak untuk hidup sebagai manusia yang utuh. Dalam bahasa lokal, juga dikenal ada pepatah lama yang bernada sama, yaitu "Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup bercermin bangkai (malu)."
Akuntabilitas publik merupakan suatu panggilan yang datang dari dalam. Akuntabilitas publik tidak boleh baru dilaksanakan setelah ada orang lain yang menuntutnya. Akuntabilitas demikian sudah terlambat, dan dengan sendirinya sudah tidak lagi memenuhi kriteria pribadi yang akuntabel.
Sejalan dengan itu, Immanuel Kant pernah mengajarkan tentang perlunya manusia bermoral untuk menjalankan hal-hal baik karena menyadari perbuatan itu memang baik dan seharusnya dilakukan. Kewajiban moral demikian disebutnya dengan istilah "imperatif kategoris". Dengan perkataan lain, Kant juga meminta manusia untuk akuntabel bukan karena orang lain menagih akuntabilitas itu, melainkan karena manusia itu sendiri menyadari bahwa akuntabilitas tersebut memang sudah sewajarnyalah dilakukannya sebagai mahluk bermoral dengan segala fungsi hati nurani dan akal budinya. Kiranya para hakim layak menempatkan tuntutan akuntabilitasnya pada posisi demikian.

3.   Akuntabilitas publik tidak mengenal kompromi ruang dan waktu
      "Nemo dat quod non habet," kata pepatah Latin. Artinya, orang tidak dapat memberikan sesuatu yang dia sendiri tidak punya. Pepatah ini mengandung makna mendalam bahwa sebelum seseorang meminta orang lain berbuat suatu kebajikan, ia harus memulai kebajikan itu dari dirinya sendiri. Akuntabilitas publik juga demikian halnya. Jika kita meyakini bahwa sifat akuntabel merupakan sesuatu yang pantas dimiliki oleh setiap manusia (apalagi seorang pemimpin) maka ia harus memulai pilihan moral itu dari dirinya sendiri.
      Akuntabilitas publik tidak mengenal ruang (tempat di mana Anda berada). Seseorang tidak dapat beralasan untuk tidak akuntabel karena lingkup tanggung jawabnya baru sebatas, misalnya, hakim yunior di sebuah pengadilan di pedalaman Kalimantan, yang terbiasa menghadapi kasus-kasus ”kecil” dan jauh dari sorotan media. Akuntabilitas publik pada hakikatnya tidak bergantung pada ruang lingkup pekerjaan sekecil apapun. Justru hal-hal ”kecil” itulah akan menentukan sesuatu yang lebih besar di kemudian hari.
Akuntabilitas publik juga tidak mengenal jeda waktu. Seseorang tidak dapat berdalih ia baru taraf belajar akuntabel untuk lalu tidak bertanggung jawab atas pekerjaannya. Akuntabilitas harus dilakukan kapanpun, baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Kemampuan untuk satu kali bisa bertanggung jawab akan mendorong untuk makin bisa bertanggung jawab lagi pada kesempatan berikutnya.

Lingkup Akuntabilitas Publik

Konstelasi kegiatan yang termasuk kriteria akuntabilitas publik dalam perkembangannya terus bertambah seiring dengan makin besarnya tuntutan transparansi dalam pengelolaan organisasi dan pengembanan profesi publik. Jika dulu akuntabilitas cukup ditekankan pada pertanggungjawaban soal penggunaan keuangan, maka saat ini akuntabilitas sudah pula merambah ke dimensi pertanggungjawaban yang lebih luas.
Perluasan akuntabilitas publik dapat dilihat dari munculnya jenis-jenis audit baru yang dikenal dalam dunia auditing. Selain ada audit keuangan, dikenal ada audit manajemen, audit kepatuhan, audit fisik, dan sebagainya. Setiap audit ini menuntut pemenuhan aspek akuntabilitas.
Guy Peters (2000) menyebutkan sedikitnya ada tiga tipe akuntabilitas publik, yaitu akuntabilitas keuangan, akuntabilitas administratif, dan akuntabilitas kebijakan. Semua pekerjaan hakim dan badan peradilan memiliki keterkaitan dengan tiga tipe akuntabilitas ini. Tiga lingkup akuntabilitas ini selayaknya juga menjadi perhatian tatkala kita ingin meningkatkan martabat peradilan dan keluhuran profesi hakim di Tanah Air. Auditing gaya konvensional barangkali dapat dilakukan atas ruang lingkup keuangan dan administratif, tetapi tentu tidak demikian terhadap kebijakan yang diambil oleh seorang penyandang profesi hakim.
Akuntabilitas kebijakan seorang penyandang profesi hakim terutama hadir melalui putusannya. Di dalam putusan tersebut tercermin semua pergulatan kognitif, afektif, dan keterampilan para hakim tatkala menyatukan daya nalar sehat dan sikap positif mereka. Putusan hakim dengan demikian adalah karya yang merepresentasikan langsung karakter para hakimnya. Hanya putusan-putusan yang berkarakter tertentu, seperti konsisten, logis, lugas, tegas, dan aspiratif, yang akan diapresiasi oleh masyarakat.
Model ”auditing” terhadap putusan hakim secara formal memang dibuka melalui upaya-upaya hukum oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perkara. Namun, cara demikian terbukti tidak pernah memadai untuk menguji kualitas suatu putusan. Putusan hakim dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum, yang berarti mulai dari tingkatan paling awal pun putusan ini sudah disodorkan kepada publik untuk diberikan pengujian atau penilaian. Sebagai karya yang diabdikan kepada publik, tentu layak untuk ”diaudit” menurut cara-cara yang lazim dikenal oleh publik. Untuk konteks putusan hakim, salah satu cara pengujian itu adalah melalui esksaminasi publik.

Penutup

Dalam ilmu hukum dikenal adigium res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar). Dalam konteks ini, praktis tidak ada pihak manapun yang dapat membatalkan putusan hakim, kecuali juga harus melalui putusan hakim, yakni putusan hakim pada tingkatan badan peradilan di atasnya. Oleh sebab itu sangat tidak layak jika ada putusan hakim yang sengaja dijauhkan dari penilaian publik, apalagi dari penilain komunitas pengemban profesi hukum yang notabene menjadi habitat dari para hakim itu sendiri. Putusan hakim yang telah dibacakan di hadapan umum, akan langsung menjadi public domain. Ia seyogianya dibiarkan menjadi konsumsi publik dan siap diperbincangkan di ruang-ruang kuliah pendidikan hukum. Ia juga wajib dibuka untuk dieksaminasi oleh siapapun (kecuali oleh kalangan internal sesama hakim).
Pandangan bahwa putusan hakim baru layak dieksaminasi setelah ia berkekuatan hukum tetap, sama sekali tidak beralasan. Asumsi bahwa eksaminasi terhadap putusan yang belum in-kracht akan mempengaruhi hakim pada tingkatan badan peradilan berikutnya, justru menunjukkan perspektif berpikir yang sempit di kalangan para penegak hukum kita. Hakim adalah insan yang dipersepsikan pasti tahu hukum (ius curia novit) dan bijaksana dalam memilah informasi. Eksaminasi putusan yang dibuat dengan sangat baik dan argumentatif, justru diharapkan dapat menjadi acuan yang sangat berarti bagi hakim. Putusan hakim yang terbuka untuk dikaji dalam waktu sesegera mungkin malahan memberi arti positif karena akan menambah aspek akuntabel dari sistem peradilan kita.


Tulisan ini pernah dimuat di: Buletin Komisi Yudisial. Vol. V, No.2 Oktober-November 2010, hlm. 22-25.
  

Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam. 1998. Menggapai Kedaulatan Rakyat. Bandung: Mizan.

McCandless, Henry. 2007. "The Issue of Public Accountability." accountabilitycircle.org/publicaccountability.html>. 9 April.

Peters, B. Guy. 2000. The Politics of Bureaucracy. London: Routledge.

No comments:

Post a Comment