Akuntabilitas Publik Melalui Eksaminasi Putusan Hakim


Oleh: Shidarta

K
ehadiran Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) membawa angin segar bagi masyarakat yang mendambakan sistem peradilan yang lebih akuntabel. Pasal 18 dari undang-undang ini menyatakan, bahwa putusan badan peradilan adalah informasi yang tidak boleh dikecualikan untuk dibuka kepada publik. Ini berarti, putusan hakim bisa diakses oleh siapa saja begitu putusan tersebut dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Kemudahan mengakses putusan hakim terutama sangat diperlukan untuk keperluan eksaminasi putusan oleh publik. Eksaminasi publik ini sangat bermanfaat karena dapat menambah bobot akuntabilitas publik dari putusan itu. Bahkan, level akuntabilitas publik merupakan indikator pencapaian tingkatan keluhuran martabat sistem peadilan dan profesi hakim.
Tulisan singkat ini secara khusus menyoroti arti penting dari akuntabilitas publik dalam kaitannya dengan eksaminasi putusan hakim. Untuk itu, tulisan akan dibuka dengan pembahasan tentang makna akuntabilitas publik, sehingga pada akhirnya dapat dipahami keterkaitan konsep akuntabilitas tersebut dengan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas putusan-putusan hakim yang argumentatif dan bernas (motivering vonis). Pada bagian berikutnya akan disinggung karakter akuntabilitas publik beserta ruang lingkupnya, sebelum akhirnya ditutup dengan sejumlah catatan.

Analisis Penalaran Hukum dan Area Etis Pengawasan Komisi Yudisial Pasca-Putusan MA Nomor 36P/HUM/2011


Oleh: Shidarta[1]

Tanggal 9 Februari 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah putusan bernomor 36 P/Hum/2011 terkait permohonan keberatan hak uji material terhadap Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 (selanjutnya disebut SKB). Putusan ini menarik perhatian karena majelis hakim menerima permohonan empat orang advokat untuk menyatakan butir 8.1, 8.2, 8.3, 8.4 serta butir 10.1, 10.2, 10.3, dan 10.4 SKB bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perudang-undangan tingkat lebih tinggi, yaitu Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 32A ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Sebagai konsekuensinya, semua butir yang disebutkan di atas dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, dan memerintahkan kepada Ketua MA dan Ketua KY untuk mencabut butir-butir di atas. Panitera MA diperintahkan utuk mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara, serta biaya perkara sebesar satu juta rupiah dibebankan kepada para termohon (Ketua MA dan Ketua KY).

Tentu ada banyak aspek yang menarik seputar isi dan dampak putusan MA ini.[2] Tulisan ini membatasi diri hanya akan menelaah isi putusan MA berkenaan dengan pokok perkara berdasarkan perspektif penalaran hukum dan dimensi etis yang terkait di dalamnya. Berangkat dari telaahan ini selanjutnya akan diusulkan beberapa jalan keluar.