Oleh: Shidarta[1]
T
|
atkala tulisan ini dibuat,
secara kebetulan penulis juga sedang mengerjakan sebuah buku di bawah sponsor Epistema Institute untuk menerbitkan
ulasan dan kritik terhadap pemikiran Prof. Mochtar Kusumaatmadja.[2]
Penerbitan buku tersebut sekaligus meneruskan proyek yang sudah berjalan tahun sebelumnya, yakni dengan mempublikasikan kritik terhadap pemikiran Alm. Prof. Satjipto Rahardjo. Oleh karena Teori Hukum Integratif
yang ditulis oleh Prof. Romli Atmasasmita ini diakui sebagai rekonstruksi atas
pemikiran dari dua tokoh tersebut, maka tinjauan atas Teori Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif yang telah dan akan dimuat dalam kedua buku tersebut,
diproyeksikan akan ikut mewarnai ulasan di dalam makalah sederhana ini,
sekalipun masing-masing mungkin saja diberi artikulasi yang berbeda sejalan
dengan alur pikir yang diperagakan Teori Hukum Integratif dalam buku karya
Prof. Romli Atmasasmita.
Latar Belakang
Latar Belakang
Buku yang ditulis oleh Romli
Atmasasmita ini, menurut pengakuannya, berangkat dari sikap skeptis masyarakat (dan
penulis) terhadap penanganan perkara hukum di Indonesia, dengan kesimpulan
bahwa kaum praktisi hukum di Indonesia telah ‘melupakan’ dan mengabaikan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai ideologi bangsa dan
terjebak pada ‘kotak normatif’ yang telah diwariskan oleh aliran Kelsenian.
Sikap skeptis ini diperkuat dengan pengalaman penulis buku tersebut tatkala
menjadi “Guru Besar Hukum Pidana Paripurna” yang diibaratkannya seperti Empu
Gandring yang ditusuk secara licik oleh Ken Arok dengan keris (baca: UU Tipikor) karya si Empu sendiri.
Dilihat dari judulnya, buku ini memang didesain khusus untuk mengintroduksi sebuah teori hukum. Romli tidak
memberi batasan yang jelas tentang apa yang dimaksudnya dengan teori hukum,
kecuali mengutip pendapat Richard A. Posner yang menyatakan bahwa teori hukum
berfokus pada masalah hukum praktis tetapi didekati dari luar disipilin ilmu
hukum dengan menggunakan disiplin ilmu lain. Kegunaannya adalah untuk
mengungkapkan ruang gelap (dark corners)
dari suatu sistem hukum dan menunjuk jalan arah perubahan konstruktif yang
sangat bernilai tentang unsur-unsur dari konsep hukum. Kegunaan lain adalah
untuk membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya
adalah pengetahuan tentang sistem, yang berbeda maknanya dari sekadar
mengetahui bagaimana menjalankannya dalam suatu sistem di mana praktisi hukum
telah biasa melakukannya.
Pengutipan Romli terhadap Posner ini diletakkan
di bagian pertama dari bukunya, dan oleh karena itu memberi bingkai pemikiran
yang perlu dicermati bahwa seperti itulah teori hukum yang sedang ingin
dibangun oleh Romli. Dalam buku yang dikutip oleh Romli, yaitu Frontiers of Legal Theory, sesungguhnya
Posner sedang “bereksperimen” untuk apa yang disebutnya “... to supply the tools essential for understanding and improving the
[legal] system” melalui kaca mata eksternal disiplin hukum. Dalam hal ini,
Posner (2001: 1-2) mengingatkan:
It is in recognition of this limitation, of some conspicuous failures of lawyer-engineered legal reform, and of the progress of the social sciences that legal education, and legal thought more generally, have become more interdisciplinary in recent years and as a result (law being an undertheorized field relative to most of the academic field that might be thought to adjoin or intersect it) more “theoretical.” This is not entirely a good thing; a lot of legal theory is vacuous. But not all. Other disciplines have much to contribute to the understanding and improvement of law. In this book I examine contributions from economics, history, psychology, epistemology, and statistical inference.
Jadi, teori hukum yang dimaksud oleh
Posner ini (dan terkesan disepakati oleh Romli), adalah teori yang menggunakan
perspektif eksternal disiplin hukum. Pengertian disiplin hukum di sini dimaknai
Posner secara lebih sempit, sehingga filsafat hukum tidak dimasukkannya. Lebih lanjut
Posner (2001: 2) mengatakan:
By “legal theory” I mean to exclude both philosophy of law (legal philosophy, or jurisprudence)—which is concerned with the analysis of high-level law-related abstractions such as legal positivism, natural law, legal hermeneutics, legal formalism, and legal realism---and the analysis of legal doctrine, or its synonym, legal reasoning, the core analytical component of adjudication and the practice of law. Legal theory is concerned with the practical problems of law, but it approaches the from the outside, using the tool of other disciplines. It does not consider the internal perspective of the legal professional adequate to the solution even of the practical problems of law.
Patut dipertanyakan, apakah Romli sedang mencoba
membangun Teori Hukum Intergratif ini ke arah analisis “high-level law-related abstractions” (seperti konon diintroduksi
oleh Friedman) atau lebih kepada “practical
problems of law” (sebagaimana dimaui oleh Posner)? Jika meminjam Bruggink
(1995: 170-176), akan muncul pertanyaan serupa, yakni apakah ini sebuah teori
yang bernuansa kontemplatif (reflektif) atau bernuansa empiris? Romli ternyata tidak
secara tegas menunjukkan sikapnya. Sama seperti yang dilakukan oleh Mochtar dan
Satjipto, analisis paradigmatik demikian tampaknya tidak terlalu menarik
perhatian mereka. Sekalipun ada beberapa nama aliran filsafat hukum yang disinggung
dalam tulisan mereka dan sesekali dipakai juga untuk mendukung satu atau dua
proposisi yang dikemukakan, rupanya segera terlihat bahwa fondasi aliran-aliran
besar itu tidak pernah benar-benar mereka kritisi, sehingga pada gilirannya
semua persinggungan itu justru berpotensi melemahkan bangunan teoretis itu
sendiri.
Dalam buku ini, Romli Atmasasmita
menunjukkan bahwa ia ingin merekonstruksi pemikiran Mochtar dan Satjipto dengan
menghasilkan satu teori baru. Jika ditelusuri beberapa kamus, ada dua makna
kata “rekonstruksi” ini. Pertama, kata “rekonstruksi” (reconstruction) dipakai untuk menunjukkan suatu proses pemulihan
keadaan yang tidak lagi berjalan normal. Jadi, ibarat kota yang hancur akibat
perang, keadaan sarana dan prasarananya sudah hancur atau tidak lagi utuh,
sehingga perlu direkonstruksi. Hasil rekonstruksi ini sangat mungkin akan
berbeda dari tampilan awal. “When a
system or policy is reconstructed, it is replaced with one that works
differently” (BBC English, 1992: 963). Namun, ada arti kedua sebagaimana
ditulis dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2005: 942) yang mengartikan rekonstruksi
sebagai “pengembalian seperti semula.” Kurang lebih kondisinya mirip seperti
penyidik melakukan rekonstruksi atas suatu peristiwa pidana.
Teori Hukum Integratif sebenarnya tidak
benar-benar berangkat dari upaya memulihkan teori Mochtar atau Satjipto dari
kondisi ketidakmampuannya berjalan normal. Kedua teori ini juga tidak
sungguh-sungguh ditempatkan sebagai dua pilar teori yang sepadan. Romli (2012:
85-86) menyebut teorinya sebagai Teori Hukum Pembangunan Generasi (Jilid) II. Secara
terminologis, Romli sudah mencenderungkan posisi berdirinya di lingkaran
pemikiran Mochtar daripada lingkaran pemikiran Satjipto. Teori Hukum
Pembangunan Generasi I (Mochtar) menyita tempat sebanyak 27 halaman dalam buku
ini, berbanding dengan 9 lembar saja untuk Teori Hukum Progresif (Satjipto). Kontribusi
yang terpenting dari teori Satjipto, hanya ditekankan pada pemikiran bahwa hukum
adalah sistem perilaku (system of
behavior), suatu pemikiran yang sebenarnya juga sudah digarisbawahi oleh
Mochtar ketika ia menyatakan hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas
yang mengatur, tetapi juga
meliputi lembaga-lembaga dan proses
yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan. Kata “kaidah/asas” di sini menunjuk
kepada unsur idiil dalam sistem hukum, kata “lembaga” merujuk ke unsur
operasional, dan kata “proses” merujuk ke unsur faktual.
Posisi berdiri
dalam satu lingkaran di atas juga diperlihatkan ketika Romli menegaskan
pandangan Satjipto bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya.
Pandangan ini dinilai Romli sebagai pandangan yang sejalan dengan kalangan
penstudi hukum kritis (critical legal
studies) yang dilandaskan pada aliran posmodernisme. Ia juga menilai bahwa
marxisme hukum telah memberikan pengaruh yang besar terhadap aliran
posmodernisme yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jacques Derrida
dengan teori “Social Deconstruction”
dan Charles Stamford [sic! maksudnya
Sampford] dengan teori “Chaotic of
Law” (Atmasasmita, 2012: 48-51). Lebih jauh lagi, Romli berkesimpulan bahwa
nalar posmodernisme yang menjadi sumber teori chaotisme hukum dan pandangan
hukum tentang “hukum yang tidak beraturan” sulit digunakan sebagai landasan
pemikiran bagi penyusunan atau pembaharuan politik hukum di Indonesia
(Atmasasmita, 2012: 110).
Teori Hukum
Pembangunan Mochtar sebagai Titik Tolak
Sesuai dengan fokus tulisan ini, yaitu untuk
menyoroti posisi Teori Hukum integratif dalam konstelasi pemikiran filsafat
hukum, maka berangkat dari asumsi bahwa teori ini lebih dekat ke Teori Hukum
Pembangunan Generasi I (Mochtar), maka analisis dan kritik terhadap teori
Mochtar dapat ditujukan pula terhadap Teori Hukum Integratif (Teori Hukum
Pembangunan Generasi II). Butir-butir pemikiran Mochtar (2002: 1-105) dapat
dibentangkan sebagai berikut:
1.
Hukum
adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila,
kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain), yang merupakan cerminan dari
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living
law).
2.
Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang
mengatur, tetapi juga
meliputi lembaga-lembaga dan proses
yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.
3.
Hukum
bercirikan pemaksaan oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya, sebab tanpa
kekuasaan hukum hanyalah kaidah anjuran; kekuasaan diperlukan demi kehidupan
masyarakat yang tertib (teratur); hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan
kekuasaan harus ada batas-batasnya (kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman).
4.
Kekuasaan
dapat memunculkan wibawa dan bertahan lama jika ia mendapat dukungan dari pihak
yang dikuasai; untuk itu, penguasa harus
memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public service), dan yang dikuasai memiliki kewajiban
tunduk pada penguasa (the duty of civil
obidience); keduanya harus dididik agar memiliki kesadaran kepentingan umum
(public spirit).
5.
Tujuan
pokok dan pertama dari segala hukum adalah ketertiban, yang merupakan syarat
fundamental bagi adanya suatu masyarakat yang teratur; untuk tercapai
ketertiban diperlukan kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat;
tujuan kedua setelah ketertiban adalah keadilan, yang isi keadilan ini
berbeda-beda menurut masyarakat dan zamannya.
6.
Masyarakat
Indonesia sedang dalam masa peralihan (transisi) dari tertutup menuju terbuka,
dinamis, dan maju (modern); hakikat masalah pembangunan adalah pembaruan cara
berpikir (sikap, sifat, nilai-nilai), baik pada penguasa maupun yang dikuasai,
misalnya pada anggota masyarakat harus berubah dari sekadar bersikap mental
sebagai kaula negara menjadi bersikap mental sebagai warga negara (tidak hanya
pasif mengikuti perintah penguasa tetapi juga aktif mengetahui bahkan berani
menuntut hak-haknya).
7.
Dalam
masyarakat yang sedang membangun, hukum tidak cukup hanya bersifat memelihara
dan mempertahankan yang telah dicapai (sifat konservatif dari hukum), tetapi
juga berperan merekayasa masyarakat; namun intinya tetap harus ada ketertiban
(selama perubahan dilakukan dengan cara yang tertib, selama itu masih ada
tempat bagi peranan hukum).
8.
Pembangunan
harus dimaknai seluas-luasnya meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat
dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka.
9.
Hukum
sebagai alat pembaruan dalam masyarakat yang sedang membangun itu dapat pula
merugikan, sehingga harus dilakukan dengan hati-hati; oleh sebab itu penggunaan hukum itu harus
dikaitkan juga dengan segi-segi sosiologi, antropologi dan kebudayaan; ahli
hukum dalam masyarakat yang sedang membangun perlu mempelajari hukum positif
dengan spektrum ilmu-ilmu sosial dan budaya.
10.
Peranan
hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi
dengan cara yang teratur (tertib); hukum berperan melalui bantuan
perundang-undangan dan keputusan [sic]
pengadilan, atau kombinasi dari keduanya; namun pembentukan perundang-undangan
adalah cara yang paling rasional dan cepat dibandingkan dengan meteode
pengembangan hukum lain seperti yurisprudensi dan hukum kebiasaan.
11.
Kendala
atau kesukaran yang dihadapi dalam rangka beperannya hukum dalam pembangunan:
(a) sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan (pembaruan) hukum; (b)
sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis
deskriptif dan prediktif; (c) sukarnya mengadakan ukuran yang objektif tentang
berhasil tidaknya usaha pembaruan hukum; (d) adanya kepimpinan kharismatis yang
kebanyakan bertentangan kepentingannya dengan cita-cita legal engineering menuju suatu masyarakat atau negara hukum; (e)
masih rendahnya kepercayaan dan keseganan terhadap hukum (respect for the law) dan peranannya dalam masyarakat, khususnya
bagi masyarakat yang lahir melalui keguncangan politik (revolusi); (f) reaksi
masyarakat karena menganggap perubahan itu bisa melukai kebanggaan nasional;
(d) reaksi yang berdasarkan rasa salah diri, yaitu golongan intelektualnya
sendiri tidak mempraktikkan nilai atau sifat yang mereka anjurkan;
heterogenitas masyarakat Indonesia, baik dari segi tingkat kemajuan, agama,
bahasa, dan lain-lain;
12.
Dalam
rangka pembentukan perundang-undangan dalam era Indonesia yang sedang
membangun, perlu diprioritaskan pembentukan peraturan perundang-undangan di
bidang-bidang hukum yang netral (tidak sensitif). Ranah hukum demikian praktis
tidak akan banyak menimbulkan kontroversi terkait dengan adat istiadat, agama,
dan nilai-nilai primordial lainnya.
Jika diilustrasikan, maka akan tampak
bahwa Teori Hukum Pembangunan menelaah pada upaya penyeimbangan antara hukum
positif (law in the books) dan hukum yang
hidup (living law). Fungsi hukum
dengan demikian mengarah pada sarana sebagai social order (sebagai fungsi paling konservatif dari hukum)
sekaligus sebagai sarana social
engineering. Ini berarti, pada tahap yang paling awal, hukum wajib mengarah
pada pencapaian ketertiban sebagai syarat menuju kepada kepastian dan keadilan.
Jadi, Mochtar tetap menempatkan keadilan sebagai tujuan paling ideal, sekalipun
ia meyakini makna keadilan ini bisa sangat beragam. Semua ini diarahkan kepada
keberhasilan pembangunan nasional dalam konteks [sosial] keindonesiaan. Dalam
paparannya, Mochtar sesungguhnya sudah menyinggung dengan sangat jelas arti
penting aparatur pemerintah, yang oleh Romli disebut sebagai birokrat.[3]
Mochtar menekankan perlunya ada sense of
public service yang sebenarnya juga memposisikan birokrat sebagai “motor”
dalam menggerakkan fungsi-fungsi
hukum tersebut. Ini berarti, tiga hakikat hukum (sistem norma, perilaku, dan
nilai) yang disebut oleh Romli dengan “tripartite
character of the Indonesian legal theory of social and bureaucratic engineering”
pada dasarnya sudah terkonsepkan di dalam Teori Hukum Pembangunan Generasi I
dari Mochtar.
Mochtar tidak pernah secara eksplisit menyebutkan
birokrat harus menjadi motor dalam Teori Hukum Pembangunan, atau tidak pernah
memasukkannya sebagai unsur keempat dari sistem hukum sebagaimana diajukan oleh
Romli dalam Teori Hukum Integratifnya. Mochtar malahan beberapa kali menekankan,
justru pembentuk undang-undanglah sebagai motor itu. Namun, ada catatan untuk klaim ini. Pertama, seperti halnya Friedman, Mochtar juga membagi sistem hukum menjadi unsur ideal (=substansi hukum dalam teori Friedman), unsur aktual (budaya hukum), dan unsur operasional (struktur hukum). Jika Mochtar memberi label "operasional" pada subsitem struktur hukum, yang di dalamnya termasuk para birokrat, maka dengan sendirinya Mochtar ingin kaum struktural hukum inilah yang mampu mengoperasionalisasikan hukum agar hukum yang aktual itu bisa menjadi lebih ideal. Dengan demikian, secara implisit sebenarnya Mochtar juga sudah meyakini peran para birokrat ini juga sangat penting. Catatan kedua adalah tentang konteks waktu. Harus disadari
benar mengenai konteks waktu ketika Mochtar menyampaikan teorinya, yakni pada masa-masa ketika kekuasaan eksekutif memang memiliki "peran lebih" (executive heavy) dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, termasuk dalam hal inisiatif pembentukan
undang-undang sekalipun. Mochtar mengusulkan agar inisiator undang-undang lebih
mendahulukan pembentukan undang-undang yang netral daripada yang non-netral.
Sebagai pejabat penting di pemerintahan tatkala itu, Mochtar memegang peran
sangat sentral dan berhasil mempengaruhi lembaga-lembaga tertinggi dan tinggi
negara lainnya untuk menerima gagasan tadi, sehingga secara konseptual Teori
Hukum Pembangunan berhasil diakomodasikan ke dalam GBHN 1973 dan Repelita II
(tahun 1974/75 s.d. 1978/79). Pada saat itu, Mochtar dipercaya sebagai Menteri
Kehakiman dalam Kabinet Pembangunan II.
Fungsi
hukum yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat sebagaimana dimaksudkan oleh Mochtar, dapat dikategorikan
ke dalam fungsi hukum sebagai social
control, sementara fungsi yang disebutnya lebih baru adalah fungsi hukum
sebagai social engineering. Fungsi
pertama adalah fungsi yang lebih mempertahankan status quo di dalam kehidupan masyarakat, yang oleh Mochtar
dianggap tidak cukup memadai untuk mengakomodasi kebutuhan bangsa Indonesia
yang sedang membangun. Fungsi social
engineering, yang kemudian diindonesiakan menjadi “pemba[ha]ruan
masyarakat” dipandang sebuah tawaran yang lebih tepat guna melengkapi fungsi
konvensional tersebut.
Romli di
bagian lain dari bukunya mengakui bahwa pemikiran Mochtar sebenarnya sudah
cukup lengkap mengakomodasi empat aspek yang diklaim sebagai unsur-unsur sistem
hukum, yaitu substansi, struktur, budaya, ditambah dengan birokrasi. Ia
mengatakan bahwa Mochtar telah berhasil menemukan apa yang dimaksud dengan
konsep hukum dalam pengertian yang dinamis yang meliputi keempat unsur di atas
sebagai suatu rangkaian yang berhubungan satu sama lain dan selalu dalam
keadaan dinamis (bergerak) (Atmasasmita, 2012: 47). Hanya saja, ia menilai
bahwa Teori Hukum Pembangunan belum mempertimbangkan sistem politik, sistem
birokrasi, dan prinsip-prinsip “good
governance” yang tidak sebesar gaungnya saat ini dalam birokrasi (Atmasasmita,
2012: 73). Ia berkeyakinan bahwa Teori Hukum Pembangunan
Mochtar lebih mengutamakan peranan hukum dan mengabaikan peran birokrasi dalam
pembangunan nasional.
Kembali Lagi: Siapa yang Menjadi
Motor?
Persoalan tentang siapa yang menjadi “motor” dalam
pengembanan hukum (rechtsbeoefening),
menjadi salah satu kunci penting untuk memposisikan pemikiran Teori Hukum
Integratif. Indikator “motor” ini seringkali dipakai sebagai tolok ukur
kedekatan suatu pemikiran dengan aliran-aliran klasik dalam filsafat hukum.
Misalnya, Sociological Jurisprudence dan Realisme Hukum memandang motor
pengembanan hukum adalah hakim. Positivisme Hukum yang berpuncak di kalangan
penganut Legisme memandang motor itu adalah penguasa negara (khususnya
pembentuk undang-undang). Mazhab Sejarah memandang motor itu dilakoni oleh kaum
akademisi.
Jika mengacu kepada Mochtar, tokoh ini
berpendapat bahwa pembentukan hukum (perundang-undangan) adalah cara yang
paling rasional dan cepat dibandingkan dengan meteode pengembangan hukum
lain seperti yurisprudensi dan hukum kebiasaan (Kusumaatmadja, 1997: 4). Artinya fungsi pembentuk undang-undang
diposisikan Mochtar sebagai “motor,” dengan catatan bahwa memang pada masa itu
peran eksekutif sebagai inisiator pembentukan undang-undang sangat menonjol,
baik di tingkat pusat maupun daerah.
Mochtar juga melihat arti penting yurisprudensi dan hukum kebiasaan
sebagai sumber formal hukum, tetapi ia tidak pernah memposisikan yurisprudensi
dan [hukum] kebiasaan ke dalam satu kriteria, dengan memasukkan yurisprudensi
sebagai peraturan perundang-undangan. Hal ini secara menakjubkan disarankan
secara berbeda oleh Romli, dengan memberi usulan: “Seharusnya sistem hukum Indonesia dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan yurisprudensi termasuk ke
dalam hirarki perundang-undangan” (Atmasasmita, 2012: 68).
Pemikiran untuk memasukkan yurisprudensi
ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebuah pemikiran besar
dengan implikasi yang tidak main-main. Praktis belum ada aliran pemikiran hukum
yang berani memposisikan lembaga peradilan (dengan figur hakim di dalamnya)
dalam derajat yang sama seperti pembuat undang-undang. Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesië menegaskan bahwa
hakim dilarang membuat putusan yang bisa mengikat umum (aslinya pasal ini berbunyi:
“Geen rechter mag, bij wege van algemeene
verordening, dispotitie of reglement, uitspraak doen in zaken, welke aan zijne
beslissing zijn onderworpen”). Patut dicatat, bahwa pengertian
yurisprudensi di sini tidak termasuk putusan-putusan hakim MA dan MK yang
dikeluarkan dalam konteks pengujian peraturan perundang-undangan.
Pada satu bagian tulisannya, Romli
menyatakan bahwa pendekatan “bureaucratic
and social engineering” menggunakan konsep “panutan” dan “kepemimpinan”
(Atmasasmita, 2012: 83). Dengan demikian, sebenarnya birokrat atau hakim, atau
keduanya yang harus dijadikan “motor” menurut Teori Hukum Integratif, tetap
belum benar-benar terjawab tegas. Juga apakah birokrasi yang lazim dimaknai
sebagai jajaran eksekutif, mencakup pula para pembentuk undang-undang di
jajaran legislatif?
Pada halaman 123 dari buku karya Romli,
terdapat sebuah skema yang memperlihatkan sebuah pola hubungan antara rekayasa
sosial dengan pikiran Mochtar (hukum sebagai sistem norma), pikiran Satjipto
(hukum sebagai sistem perilaku), dan Romli sendiri (hukum sebagai sistem
nilai). Bagi mereka yang terbiasa membaca buku-buku Satjipto Rahardjo era
sebelum 1990-an, yaitu pada periode sebelum beliau mengintroduksi teori hukum
progresifnya dan pikiran tokoh-tokoh seperti Talcott Parsons masih kerap
dikutip, maka skema yang disampaikan oleh Romli ini agak sulit dipahami pembaca.
Para pembaca akan memaknai bahwa rekayasa birokrasi hanya berkaitan dengan
sistem norma dan sistem perilaku, sedangkan rekayasa masyarakat berkaitan
dengan sistem nilai. Padahal galib dipahami bahwa nilai, norma, dan perilaku
merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dibedakan. Rekayasa masyarakat,
termasuk komunitas birokrasi, baru akan efektif jika befondasikan penanaman
nilai-nilai. Norma hukum adalah konkretisasi dari nilai-nilai itu, yang pada
gilirannya diejawantahkan melalui perilaku. Artinya, baik sistem norma (hukum
positif) maupun sistem perilaku tetap perlu direkayasa agar sarat nilai, yang
oleh Romli diamanatkan nilai-nilai ini antara lain harus bermuatan Pancasila.
Jika interpretasi ini tepat, maka
seharusnya [norma] hukum tetap penting diposisikan sebagai instrumen (terlepas
mau dimaknai sebagai alat atau sarana) dalam rekayasa sosial itu. Usul
Romli (2012: 72) agar “law as a tool of
social engineering” diganti menjadi “law
as a social engineering” akhirnya menjadi absurd karena peran hukum dalam
proses rekayasa (birokrasi dan masyarakat) tersebut menjadi tidak lagi dapat
diberi tempat.
Dengan membaca ulang pemikiran Romli,
barangkali ragaan di bawah ini dapat dipandang sebagai upaya interpretasi (atau
bahkan reinterpretasi). Pertama,
Teori Hukum Integratif menempatkan sistem nilai, sistem norma, dan sistem
perilaku sebagai sebuah rangkaian (mulai dari tataran abstrak ke konkret). Kedua, sistem norma (baca: peraturan
perundang-undangan dan ditambahkan oleh Romli dengan yurisprudensi) diposisikan
sebagai sumber acuan dalam proyek rekayasa masyarakat. Ketiga, rekayasa masyarakat itu sendiri mencakup di dalamnya
rekayasa birokrasi. Dinamika rekayasa masyarakat itu dimotori oleh birokrasi,
sehingga episentrum dari proses ini memang ada pada birokrasi tadi. Dengan
demikian, skema hasil interpretasi yang bisa dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
Posisi di dalam Konstelasi Pemikiran Hukum
Apabila interpretasi di atas bisa diasumsikan
mendekati apa yang dimaksud oleh Teori Hukum Integratif, maka barulah sekarang
dapat diposisikan di mana harus diberi tempat teori ini dalam konstelasi
aliran-aliran pemikiran [filsafat] hukum. Upaya peletakan inipun lagi-lagi merupakan
interpretasi subjektif yang boleh jadi tidak disepakati.
Terlepas dari adanya penolakan oleh Romli terhadap
sendi-sendi mendasar dalam pemikiran Satjipto, Teori Hukum Integratif tetap mengklaim bahwa teori Romli telah memadukan
pemikiran Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dalam konteks
Indonesia yang terinspirasi oleh konsep hukum menurut H.L.A. Hart (Atmasasmita,
2012: 97). Nama H.L.A. Hart disebut-sebut di sini karena Romli setuju dengan
penolakan Hart atas pandangan positivistis ala Austinian, dengan menekankan pentingnya
rule of recognition dalam konsep
hukum dibandingkan dengan primary rules
yang menekankan pada kewajiban anggota masyarakat untuk mematuhi undang-undang
(Atmasasmita, 2012: 36). Atas dasar pernyataan di atas, yaitu Teori Hukum
Pembangunan, Teori Hukum Progresif, dan H.L.A. Hart, berikut ini dapat
ditampilkan konstelasi yang bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran ini.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra (1993:
126) suatu ketika pernah mencoba menggambarkan keterkaitan Teori Hukum
Pembangunan dengan berbagai konstelasi pemikiran yang bersinggungan dengan
pandangan Mochtar terebut. Hasil dari gambaran ini sangat penting untuk
dikemukakan di sini (sayangnya, justru tidak pernah disinggung dalam buku karya
Romli). Dalam ilustrasi itu disebutkan bahwa Teori Hukum Pembangunan adalah
hasil penjumlahan antara Teori Hukum Mochtar dengan Teori Hukum Pound,
disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Khusus untuk Teori Hukum Mochtar,
formulasinya dibentuk melalui Teori Kebudayaan Northrop plus Teori “Policy Oriented” Lasswell-McDougal. Sementara Teori
Hukum Pound juga tidak lagi tampil sebagaimana model orisinalnya, melainkan
sudah direduksi konsepsi mekanisnya oleh Mochtar.
Pemikiran Northrop, Lasswell-McDougal, dan
Pound memiliki karakteristik yang menarik untuk ditelaah sebagai susunan mozaik
pemikiran Teori Hukum Pembangunan. Northrop disebut-sebut namanya oleh Mochtar
dalam rangka untuk memperkuat pandangannya tentang hukum yang hidup, yaitu
hukum dalam arti sebagai lembaga dan proses. Mochtar mencoba untuk
mengakomodasi filsafat kebudayaan dari Northrop ini ke dalam teorinya.
Ada kesan
paradoksal ketika pembahasan tentang hukum yang hidup ini diangkat dalam
bingkai pemikiran Teori Hukum Pembangunan. Apabila tulisan demi tulisan Mochtar
ditelusuri, sebenarnya akan mudah diketahui bahwa ia memang membuat banyak
pernyataan tentang perlunya hukum didekati dari kaca mata sosiologi,
antropologi, dan kebudayaan. Ia juga menekankan bahwa ahli hukum dalam
masyarakat yang sedang membangun perlu mempelajari hukum positif dengan
spektrum ilmu-ilmu sosial dan budaya. Pendekatan-pendekatan ini diperlukan demi
tujuan agar hukum yang dibentuk oleh penguasa politik, terutama melalui
perundang-undangan itu, mendapat dukungan masyarakat. Menurutnya, kekuasaan
dapat memunculkan wibawa dan bertahan lama jika kekuasaan itu mendapat dukungan
dari pihak yang dikuasai. Dalam suasana seperti inilah hukum akan mampu
memunculkan suasana ketertiban. Tujuan pokok dan pertama dari segala hukum,
menurut Mochtar, adalah ketertiban, yang merupakan syarat fundamental bagi
adanya suatu masyarakat yang teratur.
Di sini terlihat bahwa hukum yang hidup
dalam konsepsi Teori Hukum Pembangunan lebih ditempatkan sebagai sumber
material dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun,
sebenarnya sumber material ini tidak cukup mendapat prioritas karena di sisi
lain Mochtar sendiri menganggap nilai-nilai yang dibawa oleh hukum yang hidup
ini bisa sangat resisten terhadap upaya-upaya penguasa dalam melaksanakan pembangunan.
Di sinilah lalu muncul skala prioritas, sehingga Mochtar lalu lebih mendorong
pembentukan perundang-undangan dengan menggunakan materi muatannya netral,
dalam arti tidak sarat bermuatan nilai-nilai kultural atau primordial. Ranah
hukum yang non-netral, bisa dikesampingkan terlebih dulu.[4]
Pertimbangan Mochtar untuk
lebih mengedepankan pembentukan undang-undang yang netral dalam banyak hal
didorong oleh semangat Mochtar untuk membuat hukum positif bisa lebih berperan
dalam mendukung kemajuan pembangunan. Dalam iklim pembangunan itu, gaya
pemerintahan Orde Lama yang anti-Barat serta merta berganti wajah menjadi gaya
pemerintahan yang lebih ramah terhadap investor asing. Sebagai ahli hukum
internasional, Mochtar meyakini bahwa hukum dapat berkontribusi dalam menarik
minat investasi tetapi sekaligus tidak mengorbankan kepentingan nasional.
Itulah sebabnya, kendati orisinalitas pemikiran tentang konsep production sharing tidak berasal dari
Mochtar, tetapi ia termasuk orang yang mempertahankannya. Perjanjian bilateral
dengan sejumlah negara terkait dengan wilayah kedaulatan juga menjadi
perhatian. Dengan demikian, klaim bahwa Teori Hukum Pembangunan Mochtar
berorientasi inward looking
(Atmasasmita, 2012: 99), juga tidak sepenuhnya benar.
Namun, semangat eklektisistis
Mochtar untuk mencampurkan pemikiran Northrop dan Pound dalam satu ramuan juga
mengandung masalah. Pada satu sisi, Northrop tidak pernah berpretensi
masyarakat dapat didesain melalui hukum, dan dengan sendirinya hal ini bertolak
belakang dengan keyakinan Pound. Selain itu, Northrop tidak pernah bersikap
chauvinis terhadap sistem hukum Barat (khususnya Anglo-Amerika), sebagaimana
ditunjukkan dengan sangat arogan oleh Pound di dalam karya-karyanya.
Dua nama lain yang justru
terlihat bersinggungan manis dengan pemikiran Mochtar adalah Lasswell dan
McDougal. Mereka berdua mengemukakan teori yang memadukan pendekatan ilmu
politik dan ilmu hukum. Kedua ahli ini menekankan pentingnya peran hukum dalam
merawat demokrasi. Tidak diragukan bahwa Mochtar juga memiliki kepedulian
mendalam tentang demokrasi dan harapan agar hukum memiliki peran dalam
pendistribusian nilai-nilai tersebut. Mungkin ada baiknya, dalam kaitan dengan
isu ini, ditelisik pandangan Mochtar tentang Pancasila.
Dalam
hubungannya dengan cita hukum Pancasila ini, ada satu cuplikan catatan kaki
yang menarik disampaikan oleh Bernard Arief Sidharta di dalam disertasinya,
yang di dalamnya disinggung pandangan Mochtar Kusuma-Atmadja. Catatan kaki
tersebut memuat uraian penjelasan dan pengakuan Bernard Arief Sidharta (2000:
184), yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
Pada masa kini, Pancasila sebagai “base-values” sudah sepenuhnya menjadi kenyataan. Namun Pancasila sebagai “goal-values” masih belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Sebagai “goal values”, baru sila Ketuhanan dan sila Persatuan Indonesia yang sudah sepenuhnya menjadi kenyataan, sedang sila-sila lainnya masih banyak yang harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan oleh semua pihak. Gagasan untuk membedakan nilai ke dalam “base-values” dan “goal-values” dan evaluasi terhadap implementasi Pancasila ke dalam kenyataan berasal dari Mochtar Kusumaatmadja dalam suatu pembicaraan bimbingan.
Sebagai
sebuah goal-values, maka cita hukum
Pancasila memberikan landasan bagi tujuan hukum yaitu untuk memberikan
pengayoman kepada manusia, yakni melindungi manusia secara pasif (negatif)
dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif (positif) dengan
menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang memungkinkan proses
kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia
memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi
kemanusiaannya secara utuh (Sidharta, 2000: 190). Di sini terlihat, sadar atau
tidak sadar, keterhubungan antara pandangan Lasswell-McDougal dan Mochtar.
Namun, keterhubungan itu berakhir ketika teori Mochtar diarahkan kepada
penjelasan lebih detail tentang nilai-nilai ini. Mochtar tidak memiliki ulasan
apa-apa tentang nilai-nilai yang dituju (goal
values), yang secara umum justru menjadi titik perhatian Lasswell.
Menurut
Lasswell, perubahan sosial merupakan sebuah proses, tidak khaos. Perubahan itu
bersifat interaktif karena melibatkan berbagai partisipan manusia. Oleh karena
ada manusia yang terlibat di dalamnya, maka ada nilai-nilai yang dicari secara
maksimal sebagai luarannya (valued
outcomes). Nilai-nilai luaran dimaksud antara lain kebutuhan, keinginan,
dan preferensi. Proses interaksi kolektif ini diupayakan oleh pola-pola
perilaku yang relatif stabil yang diarahkan secara khusus ke pada luaran nilai
tertentu, yang disebut lembaga-lembaga (institutions).
Lembaga-lembaga yang menyiapkan nilai-nilai ini tertutama terfokus pada
pembentukan nilai (value-shaping),
yaitu produksi. Lembaga-lembaga yang berfungsi pada tahapan luaran dan
pasca-luaran terfokus terutama pada value-sharing.
Jadi, perubahan soasial adalah proses di mana partispan-partisipan
memaksimalkan nilai-luaran bersih
dengan menerapkan praktik (lembaga) yang berefek ke sumber daya.[5]
Ada delapan
nilai yang disebutkan oleh Lasswell. Mochtar tampaknya tertarik dengan nilai
pertama, yaitu kekuasaan (power).
Menurut Mochtar, hukum bercirikan pemaksaan oleh negara melalui alat-alat
perlengkapannya. Menurutnya, tanpa kekuasaan hukum adalah kaidah anjuran belaka
karena kekuasaan diperlukan demi kehidupan masyarakat yang tertib. Hukum tanpa
kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Di
sini otoritas dan pengawasan sebagai kontribusi dari ilmu politik, menjadi
penting untuk diberi penekanan.
Dengan meminjam konsep Talcott Parsons,
dapat dikatakan bahwa teori Lasswell-McDougal lebih digunakan oleh Mochtar
untuk mengalirkan energi positif dari sistem politik ke sistem hukum, bahwa hukum
diakuinya sebagai produk politik. Penguasa politik seyogianya selalu beritikad
baik membuat hukum yang baik.
Sebaliknya, sistem hukum akan mengalirkan nilai-nilai positifnya kepada sistem
politik. Penguasa politik wajib bertindak dalam koridor hukum. Namun, teori
seperti yang disampaikan oleh Lasswell-McDougal, sebagaimana dapat diacu pada
ulasan Bagir Manan (224-263) seharusnya lebih tepat digolongkan sebagai teori
di bidang politik (hukum) yang disumbangkan ke dalam ranah ilmu hukum daripada
berupa teori yang bersifat kontemplatif untuk kepentingan penelaahan filsafat
hukum.
Jadi, sekali lagi, oleh karena Teori Hukum
Pembangunan Mochtar telah dijadikan pijakan bagi Teori Hukum Integratif Romli
Atmasasmita, maka catatan-catatan di atas harus pula dibaca sebagai berlaku mutatis mutandis bagi Teori Hukum
Integratif ini. Kritik-kritik terhadap Teori Hukum Progresif sendiri tidak akan
dibahas di sini, mengingat ulasan lengkapnya telah terbit menjadi sebuah buku
berjudul “Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik” (Jakarta:
Epistema Institute, 2011).
Kekurangan terbesar pada karya-karya
Mochtar dan Satjipto adalah ketidaksempatan mereka untuk bertamasya menelisik
ke dalam akar teori-teori besar yang telah diklaim sebagai penopang pemikiran
eklektisistis mereka. Upaya meramu beberapa pemikiran dalam satu loyang
pemikiran tanpa menyelidiki dan menertibkan friksi-friksi fundamental di
dalamnya, tentu akan menyulitkan siapapun yang ingin mengetahui alamat pasti
sebuah pemikiran atau teori eklektis di dalam konstelasi pemikiran-pemikiran
yang sudah mapan. Hal yang sama tampaknya berlaku untuk Teori Hukum Integratif
ini. Kesulitan-kesulitan untuk memposisikan Teori Hukum Integratif itu antara
lain dapat ditunjukkan dalam catatan-catatan berikut ini:
1.
Kecenderungan “teoretis” apa yang
melekat pada Teori Hukum Integratif sudah menjadi tanda tanya sejak awal
halaman buku ini dibuka. Sejak awal Romli sudah memaknai “teori” dengan mengikuti definisi dari
Posner. Padahal, sebagaimana telah dikutip di awal tulisan ini, Posner sudah memagari makna teori hukumnya dengan menyatakan “By ‘legal theory’
I mean to exclude both philosophy of law (legal philosophy, or
jurisprudence)—which is concerned with the analysis of high-level law-related
abstractions such as legal positivism, natural law, legal hermeneutics, legal
formalism, and legal realism---and the analysis of legal doctrine, or its
synonym, legal reasoning, the core analytical component of adjudication and the
practice of law.” Namun, dalam buku karya Romli ini, ulasan-ulasan
tentang positivisme hukum, aliran hukum alam (kodrat), studi hukum kritis,
justru begitu menyita lembar-lembar halaman bukunya.
2.
Kerangka berpikir Lasswell dan McDougal
yang dipakai oleh Mochtar dalam menyusun Teori Hukum Pembangunan tidak mendapat
singgungan sama sekali dalam ulasan Teori Hukum Integratif ini. Lasswell dan
McDougal mendedikasikan teorinya ke dalam domain politik hukum dan Mochtar
terlihat cukup konsisten berpegang pada alur pikir Lasswell-MacDougal ini,
sehingga tidak salah apabila Teori Hukum Pembangunan didenotasikan ke dalam
teori di bidang politik hukum (dan bukan teori yang mengarah ke filsafat
hukum). Romli tidak secara tegas membuat kategorisasi ini sekalipun pada bagian
akhir buku ini ada pernyataan bahwa teorinya terkait dengan politik hukum
nasional. Ia juga ingin agar Teori Hukum Integratif dapat dijadikan rujukan
untuk menyusun prediksi tentang arah pembangunan hukum di Indonesia (hlm. 114).
3.
Romli meyinggung tentang post-modernisme [sic] (lebih baku jika ditulis
posmodernisme). Ia mengingatkan adanya ideologi pertentangan (conflict) dan perbedaan (difference) [sic!][6] yang
dibawa oleh pemikiran anti-kemapanan dengan meletakkan pemikiran anti-logis dan
asimetrikal terhadap hukum. Ia mengatakan, jika ideologi ini tidak dikritisi,
maka sesungguhnya amat besar penyesalan bangsa Indonesia di kemudian hari yang
telah mengakui ideologi Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia (hlm.
53). Ia menyatakan bahwa salah satu fenomena pengaruh aliran posmodernisme
dalam pemikiran hukum dan praktik penegakan hukum di Indonesia adalah munculnya
wacana bahwa setiap produk DPR RI ‘apriori’ bertentangan dengan kepentingan
masyarakat luas, seperti UU Penanaman Modal, UU Kepailitan, UU Pemberantasan
Terorisme, UU Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang, UU SJSN, UU Migas,
dan UU Pertambangan (hlm. 56-57). Hal di atas, adalah fenomena dari tiga akibat
sosial, yang disebut oleh Romli sebagai skeptisisme sosial, prasangka sosial,
dan resistensi sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, di mana
setiap pengambil keputusan baik di bidang sosial, ekonomi, politik maupun
hukum, sering disikapi apriori oleh pengamat dan masyarakat secara tidak tepat
(hlm. 79). Di sini tertangkap kesan sangat kuat, bahwa Romli tidak dapat
menerima cara pandang teori-teori kritis yang terlanjur apriori terhadap
kooptasi pemilik modal dalam peraturan perundang-undangan kita. Tuduhan-tuduhan
berupa nihilisme (hlm. 79), asimetris (hlm. 104), dan chaotisme (hlm. 110)
dialamatkannya ke teori-teori kritis produk era posmodern, sehingga sulit
digunakan sebagai landasan pemikiran bagi penyusunan dan pembaruan politik
hukum di Indonesia. Namun ironisnya, Romli sendiri di bagian lain justru
berkesimpulan yang membenarkan adanya fakta-fakta bahwa sistem liberalisme
global yang mengutamakan kekuatan pasar atau konglomerasi telah secara permanen
menguasai sistem ekonomi dan keuangan dan politik perdagangan Indonesia (hlm.
75). Padahal, justru “kemapanan yang permanen” inilah biang persoalan yang
selalu ingin dibela mati-matian oleh kaum modernis, sehingga setiap perubahan
yang mengusik kemapanan ini diberi label sebagai gerakan instabilitas sosial yang harus dicurigai dan dijegal sedini mungkin. Tidak ada argumentasi
di sini: apakah mungkin sebuah teori yang tidak bersedia membongkar “kemapanan”
dapat mengatasi penguasaan permanen kekuatan global demikian?
4.
Romli menilai bahwa peranan hukum, baik
di mata Mochtar maupun Satjipto tidak sekadar sebagai alat (tools) melainkan harus dipahami sebagai
sarana mencapai kemajuan peradaban manusia (hlm. 90). Padahal, konsep hukum
sebagai alat menunjukkan bahwa hukum (dalam konteks ini Mochtar memaknainya
lebih sempit sebagai undang-undang) haruslah sebuah produk yang sengaja didesain.
Rasanya sulit untuk menjelaskan di mana relevansi antara produk by-design dan sudah jadi (given) harus berhadap-hadapan (vis-a-vis) dengan konsep “biarkanlah
hukum itu mengalir” atau “law as a
process; law in the making” dalam kaca mata Satjipto. Jika Romli mengklaim
teorinya mengambil sumber dari keduanya, tentu pembaca berharap dapat diberi
ulasan bagaimana perpaduan itu dapat menjawab divergensi pemikiran seperti ini.
5.
Romli menyebut sebuah konsep
dalam Mazhab Sejarah, yang lazim disebut Volksgeist.
Romli mengatakan bahwa premis Savigny mengenai Volksgeist dalam konteks heterogenitas sosial, kultural dan
geografis dalam NKRI terdapat pada Pancasila sebagai ideologi dan alat
pemersatu bangsa Indonesia, sekalipun tidak lekang terhadap pengaruh perkembangan
masyarakat internasional dewasa ini. Ia juga mengatakan bahwa, yang penting
dalam menyikapi berbagai aliran/paham di atas adalah bagaimana upaya pemerintah
dengan dukungan akademisi hukum, mendekatkan proses legislasi pada kenyataaan
perkembangan nilai-nilai Pancasila (hlm. 103). Di sini terlihat bahwa Volksgeist “Pancasila” di dalam
pandangan Romli lebih sebagai sistem nilai yang bisa dipenetrasi secara
langsung oleh masyarakat internasional tanpa melalui proses empirik dan tempaan
sejarah yang panjang. Jiwa bangsa itu, menurutnya, terus berkembang dan
perkembangan itu perlu disikapi melalui bantuan akademisi hukum, dengan
mendekatkannya melalui proses legislasi. Romli tampaknya tidak cukup awas karena
menghubungkan konsep Volksgeist
dengan konsep rekayasa.
6.
Walaupun terlihat benar penghormatan
Romli terhadap figur Satjipto Rahardjo, tidak dapat disembunyikan bahwa
sebenarnya Romli bersikap ambigu terhadap keberadaan Teori Hukum Progresif. Di
satu sisi teori ini dianggap sejalan dengan CLS dan posmodernisme (hlm. 48)
yang mengusung cara berpikir chaotisme, asimetris, dan bahkan di sana-sini juga
terpengaruh Marxisme (hlm. 49-50). Romli bahkan menekankan bahaya dan
penyesalan jika cara berpikir asimetris ini sampai diterapkan dalam ranah
praktikal (hlm. 53, 111). Namun, ironisnya Romli justru meminta agar Teori
Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo dijadikan salah satu rujukan untuk
menyusun prediksi tentang arah pembangunan hukum di Indonesia di dalam Rencana
Jangka Menengah (2010-2014) dan Jangka Panjang (2025) (hlm. 114).
7.
Posisi Pancasila dalam konfigurasi Teori
Hukum Integratif tidak mendapat elaborasi secara mendalam. Romli menyatakan, “Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat
yang dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang
bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, itulah yang saya
namakan Teori Hukum Integratif” (hlm. 96-97). Di sini secara eksplisit
dinyatakan bahwa Pancasila ditempatkan sebagai ideologi bangsa, sebuah konsep
yang bernuansa sangat politis. Kalau saja tulisan Mochtar pada tahun 1993
sempat dijadikan acuan dalam buku Romli ini, maka besar kemungkinan posisi
Pancasila sebagai ideologi tidak akan dipilih sebagai sumber Teori Hukum
Integratif. Mochtar dalam makalahnya untuk BP-7 Pusat pernah memberi catatan
kaki, dengan kata-kata: “Selama ini
Pancasila kita kenal sebagai azas, filsafat atau pedoman hidup bermasyarakat
atau bernegara. Untuk menjadi ideologi perlu dipenuhi syarat-syarat lain yang
akan mengurangi fleksibilitas dan ‘poly-interpretability’nya yang justru merupakan
kekuatannya” (Kusumaatmadja, 1993: 233). Artinya, pemosisian Pancasila
sebagai ideologi dalam sebuah teori hukum, sebagaimana dapat ditafsirkan dari
catatan Mochtar itu, akan lebih banyak kekurangannya daripada kelebihannya.
Catatan ini perlu diperhatikan benar-benar karena sebagai sebuah teori ilmiah
tentu Romli sendiri tidak menginginkan perkembangan hukum itu menjadi terlalu
rigid terkukung dalam sekat-sekat tafsiran sempit dan monolitik dari ideologi. Untuk
itu Romli sendiri menekankan bahwa konsep hukum itu tidaklah statis, melainkan bersifat relatif dan seirama
dengan tingkat peradaban masyarakatnya, [sekalipun] tidak bebas nilai bahkan
dipengaruhi faktor-faktor non-hukum, berintikan nilai-nilai (baik-buruk, adil-tidak
adil, pasti-tidak pasti, manfat-tidak manfaat) (hlm. 29).
8.
Terkait
dengan butir persoalan di atas, disampaikan pula adanya relasi simetris yang
diusung oleh Teori Hukum Integratif. Relasi ini dimaknai sebagai sebuah
hubungan hierarkis yang menunjukkan keteraturan. Dalam relasi hierarkis itu
akan sangat menarik jika ditampilkan secara eksplisit Pancasila. Ragaan pada
halaman 124, justru tidak memperlihatkan posisi “ideologi” Pancasila di dalam relasi
hierarkis itu, seperti: apakah Pancasila harus ditempatkan sebagai cita hukum
atau Staatsfundamentalnorm? Di sisi lain, label “ideologi” itu ternyata
tidak lagi digunakan ketika Romli memberikan uraian singkat tentang relasi
interaksionis dan simeteris (hlm. 126). Kali ini Pancasila diposisikannya
sebagai puncak kesusilaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
9.
H.L.A. Hart disebut-sebut oleh Romli
sebagai inspiratornya dalam memahami konsep hukum (hlm. 97). Alasannya adalah
karena Hart menekankan
pentingnya rule of recognition dalam
konsep hukum dibandingkan dengan primary
rules yang menekankan pada kewajiban anggota masyarakat untuk mematuhi
undang-undang (hlm. 36-37). Rule of
recognition dalam konsep hukum ala Hart berada dalam kriteria secondary rules, yaitu aturan tentang
aturan primer. Pada tataran ini sebenarnya justru ditunjukkan posisi berdiri
Hart sebagai positivis, walaupun kemudian ia sedikit bergeser ke posisi Aliran
Hukum Kodrat dengan memasukkan sejumlah truisme dan memperlihatkan adanya “a minimum content of natural law” (Hart,
1961: 176). Persoalannya lagi-lagi, di
mana keterkaitan konsep-konsep hukum dari Hart ini dengan Pancasila sebagai
puncak kesusilaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu? Apakah khusus
untuk Indonesia, sila-sila Pancasila atau pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan
UUD 1945 bisa disandingkan dengan ultimate
rule of recognition, atau sebagai truisms
khas bangsa Indonesia? Boleh dikatakan, pertanyaan-pertanyaan seperti ini
merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi siapa saja yang mencoba-coba
mengaitkan Pancasila dengan cara berpikir H.L.A. Hart.
10. Ragaan Teori Hukum Integratif pada halaman 127 juga berpotensi
membingungkan karena kerangka konsepnya mengikuti ragaan pada halaman 123.
Artinya, pembaca akan tergiring untuk mengartikan bahwa rekayasa birokrasi sama
berada dalam ranah praktikal, sementara rekayasa masyarakat berada dalam ranah
teoretikal. Asumsi demikian menjadi buyar ketika ranah teoretikal berupa
“harmonisasi hukum internasional menjadi bagian hukum nasional” itu (hlm. 127)
dihubungkan dengan kotak rekayasa masyarakat (hlm. 123). Pemilahan dan penggunaan
istilah “teoretikal” dan “praktikal” ini seyogianya bisa lebih tertata
seandainya konsep pengembangan hukum dari Meuwissen dijadikan referensi.
Penutup
Kehadiran sebuah teori ilmiah,
apalagi dalam tahap embrional, pasti mengundang tanggapan. Keberanian seorang
guru besar hukum pidana untuk memperkenalkan sebuah “rekonstruksi” berdimensi
filosofis, tentu patut dihargai. Bentuk penghargaan itu, bagi komunitas ilmiah,
harus ditunjukkan dengan justru mengkritisinya dan membawakan wacana kritis itu
untuk dikritisi kembali. Tulisan interpretatif inipun berlandaskan pada niat
dan semangat positif di atas.
Dengan segala upaya yang
berhasil dipublikasikan dalam buku ini, Teori Hukum Integratif tampaknya belum
berhasil membuat konstruksi baru atas pemikiran Mochtar Kusumaatmadja melalui
Teori Hukum Pembangunannya. Rekonstruksi baru akan terjadi apabila fondasi
bangunan teori Mochtar dibongkar terlebih dulu, dikritisi, dan ditata ulang.
Alih-alih melakukan rekonstruksi, pada hakikatnya bangunan Teori Hukum
Integratif ini justru melakukan justifikasi atas teori Mochtar dengan sedikit
memodifikasi “perabotan” di dalamnya, sementara di sisi lain pemikiran Satjipto
Rahardjo (yang berada dalam kubu Realisme) tidak terlihat cukup signifikan
kontribusinya dalam modifikasi ini.
Apabila ditanyakan di mana letak pemikiran
Teori Hukum Integratif ini dalam konstelasi pemikiran hukum, maka sebagai
sebuah teori “modifikasi” posisinya tetap pada situs yang sama dengan Teori
Hukum Pembangunan. Dalam buku berjudul “Karakteristik Penalaran Hukum dalam
Konteks Keindonesiaan,” (Shidarta, 2005) posisi Teori Hukum Pembangunan ini
dapat dilukiskan dengan skema di atas. Di situ terlihat bahwa Teori Hukum
Pembangunan (termasuk Teori Hukum Integratif) berada dalam posisi seperti
Sociological Jurisprudence, yang notabene merupakan sintesis dari Positivisme
Hukum dan Mazhab Sejarah. Buah dari konfigurasi demikian membuat hukum
dinalarkan doktrinal-deduktif dan nondoktrinal-induktif secara simultan, untuk
kemudian diikuti lagi dengan pola doktrinal deduktif. Pola terakhir inilah yang
menunjukkan kesetiaan Mochtar untuk tetap mengedepankan produk hukum berupa
undang-undang sebagai sumber hukum utama dalam konteks sistem hukum Indonesia
dan kontek pembangunan.
Besar harapan kita penulis buku ini tetap
termotivasi untuk mengelaborasi kembali isi buku ini sambil merapikan beberapa
konsep dasar yang tercecer atau luput dari perhatian. Sekaligus pada kesempatan
itu pula, beberapa kesalahan penulisan yang cukup mengganggu dapat juga
diperbaiki.[7]
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 2012. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi
terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Yogyakarta:
Genta Publshing.
BBC. 1992. BBC English Dictionary. London: Harpercollins.
Bruggink,
J.J.H. 1996. Refleksi tentang Hukum. Terjemahan B.
Arief Sidharta. Bandung: Citra Adity Bakti
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Hart, H.L.A. 1961. The Concept of Law. Oxford: Oxford
University Press.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1993. “Pancasila
sebagai Ideologi dalam Pergaulan Indonesia dengan Dunia Internasional.” Dalam
Oetojo Oesman & Alfian. Pancasila
sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan
Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat. Hlm. 233-238.
_________. 1995. “Pemantapan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum
Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang.” Majalah Padjadjaran, No. 1 Th. 1995, hlm. 1–18.
_________. 1979. “Pembaharuan Hukum dengan
Perundang-undangan Secara Berencana.” Dalam BPHN. Lokakarya Penyusunan Program Legislatif. Bandung: Binacipta, hlm.
33–43.
_________. 1997. “Pengembangan Filsafat Hukum
Nasional.” Majalah Hukum Pro Justitia. Tahun XV, No. 1, Januari: hlm. 3-16.
_________. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan
(Kumpulan Tulisan). Editor H.R. Otje Salman & Eddy Damian. Bandung:
Alumni, 2002.
Kusumaatmadja,
Mochtar & B. Arief Sidharta. Pengantar
Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum.
Buku I. Bandung: Alumni, 1999.
Lasswell,
Harold D. & Myres S. McDougal. Jurisprudence
for A Free Society: Studies in Law, Science and Policy. Vol. 1 & 2. New
Haven: New Haven Press, 1992.
Manan, Bagir. 1999. “Pembinaan Hukum
Nasional.” Dalam Mieke Komar, Etty R. Agoes, & Eddy Damian. Eds. Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan
Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M.). Bandung: Alumni.
Northrop,
F.S.C. The Meeting of East and West: An
Inquiry Concerning World Understanding. Cet. 11. New York: The MacMillan
Co., 1959.
Posner, Richard A. 2001. Frontiers of Legal Theory. New York/Oxford:
Oxford University Press.
Pound,
Roscoe. 1944. The Task of Law. Lancaster: Franklin
& Marshall College.
_________. 1953. “Do We Need A
Philosophy of Law?” Dalam: The
Association of the Bar of the City of New York. Ed., Jurisprudence in Action: A
Pleader’s Anthology. New York: Baker, Voorhis & Co. Hlm. 391–409.
Rahardjo,
Satjipto. 2003. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
_________. 2004. Ilmu Hukum: Pencarian,
Pembebasan, dan Pencerahan. Surakarta:
Univesitas Muhammadiyah Surakarta.
_________. 2006. Membedah Hukum
Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
_________. 2007. Biarkan Hukum
Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
_________. 2009. Hukum dan Perilaku:
Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
_________. 2009. Hukum dan Perubahan
Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
_________. 2009. Hukum Progresif:
Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta:
Genta Publishing.
_________. 2009. Lapisan-Lapisan
dalam Studi Hukum. Malang: Bayumedia.
_________. 2009. Negara Hukum
yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Publishing.
Rasjidi,
Lili & I.B. Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai suatu Sistem. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1993.
Shidarta. 2011. “Posisi Pemikiran Hukum
Progresif dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat Hukum: Sebuah Diagnosis
Awal.” Dalam Myrna A. Safitri, Awaludin Marwan, & Yance Arizona. Eds. Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif:
Urgensi dan Kritik. Jakarta: Epistema Institute & HuMa. Hlm. 51-80.
Sidharta, Bernard Arief. 2000. Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia. Cet. 2. Bandung:
Mandar Maju.
[1] Dosen pada
Program S-1, S-2, dan S-3 Universitas Katolik Parahyangan. Beliau juga mengajar
di sejumlah perguruan tinggi lain di Jakarta dan Semarang. Ia adalah pengurus
Epistema Insttute, sebuah lembaga nirlaba pengkajian hukum. Sejak tahun 2011 ia
menjadi Sekretaris dari Asosiasi
Filsafat Hukum Indonesia (AFHI). Tulisan ini dibuat sebagai makalah dalam bedah buku "Tinjauan Kritis terhadap Teori Hukum Integratif" yang diadakan oleh Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan di Bandung, 3 Mei 2012.
[2] Setelah tahun
1990-an, Mochtar sengaja mengubah ejaan nama belakangnya dari “Kusumaatmadja”
menjadi “Kusuma-Atmadja”. Ada dugaan hal ini dilakukannya untuk menghindari
salah anggapan bahwa beliau adalah putera dari Mr. Kusumaatmadja.
[3] Romli menyebutkan
soal rekayasa birokrasi, tetapi ia sama serkali tidak membuat analisis apapun
tentang kondisi birokrasi Indonesia. Jika jantung dari birokrat yang
dimaksudnya adalah para pegawai negeri, maka di Indonesia saat ini ada sekitar
4,6 juta orang yang menjadi PNS. Mereka menghabiskan anggaran (belanja pegawai)
tahunan sekitar Rp182,9 trilyun atau sekitar 20,1% belanja pemerintah pusat.
Untuk tiap PNS/tahun sekitar Rp39,36juta atau per bulan Rp3,28 juta. Penyebaran
para birokrat ini juga menjadi permasalahan tersendiri karena banyak yang
ditempatkan pada posisi yang tidak tepat dengan kinerja yang relatif rendah.
Dapat dibayangkan, berapa lama waktu dan berapa banyak energi harus dihabiskan
untuk membenahi birokrat ini apabila rekayasa yang dimaksud oleh Romli
dijalankan secara evolutif dan lebih memilih menjaga kemapanan.
[4] Patut dicatat,
bahwa keinginan untuk memberikan prioritas pembentukan undang-undang di ranah
netral ini belum mencuat pada era sebelum Mochtar menduduki posisi di
pemerintahan. Dalam Seminar Hukum Nasional I (Surabaya, 1963), misalnya,
rekomendasi agar segera dibentuk Undang-Undang Pokok Agama, Undang-Undang Waris
Nasional, dan Undang-Undang Perkawinan, masih secara eksplisit dirumuskan dalam
kesimpulan seminar.
[5] Pada saat
Lasswell menulis tentang teori nlai-nilai ini, ia tidak menulisnya bersama
McDougal, melainkan berama Allan R. Holmberg, tetapi tulisan ini dilampirkan
dalam buku Lasswell-McDougal (1992: 1379-1417).
[6] Sebenarnya ada
kesalahan penerjemahan dari kata différance
(Prancis) menjadi difference
(Inggris). Menurut Derrida, kejelasan makna tidak pernah hadir mengingat adanya
tindakan différance, yaitu makna
tergelincir dalam tindakan transmisi. Dalam tiap kata selalu terkandung dalam
dirinya sendiri jejak makna lain, bukan lagi satu makna tunggal. Derrida
menyarankan agar kita berbicara tentang medan makna daripada tentang
korespondensi antara kata per kata dengan maknanya.
[7] Beberapa kesalahan referensi juga
ditemukan, seperti catatan kaki di hlm.
40. Putusan yang dimaksud oleh Romli bukan putusan pada tingkat pengadilan
negeri, melainkan putusan Pengadilan Tinggi di Medan No.144/Pid/1983/PT.Mdn
yang diketuai Bismar Siregar terhadap terdakwa Mertua Raja Sidabutar. Juga ada
penulisan nama William Stampford (hlm. 105) yang seharusnya ditulis Charles Sampford.
wow..hebat. walau aku pusing membacanya
ReplyDeletemohon izin untuk mengutip sebagian isi dalam makalah ini
ReplyDeletemantap pak shidarta
ReplyDeletekeren pak eee....mantap sekali bah,,,
ReplyDeleteluar biasa bung.. sangat menginspirasi karya2nya..
ReplyDeleteKeren Banget hasil Pemikiran sebagai kontribusi untuk kemajuan Hukum Indonesia
ReplyDeleteSangat membantu materi hukum sebagai bahan referensi dan konstribusi dalam penulisan tentang hukum,,,terima kasih
ReplyDeletemantap... dari rasa penasaran akhirnya saya buka blog ini, karena sebelumnya saya juga telah membaca buku Bang Shidarta, Hukum Penelaran dan Penalaran Hukum Buku 1 akar Filosofis...
ReplyDeleteKomentar kritis sdr Sidharta mendorong penulis lain untuk memperbaiki teori integratif atau sebaiknya Sdiharta belum menunjukkan teori baru orisinalitas dari ybs sehingga memperkaya khasanah ilmu hukum. Kl anda baca pengantar buku teori hk integratif jelas terinsipirasi dari das sein bukan das sollen dan bukan dimaksudkan sebagai buku filsafat hukum melainkan teori yg dibangun dari pengalaman empiris penulis dan dikaji dari perkembangan teori hukum khususnya dari Mochtar dan Alm Satjipto. Pertanyaan dan keragu=raguan Sihdarta atas konten teori hk integratif seharusnya mendorong ybs untuk membangun teori hukum baru tidak hanya menemukan kesesuaian antara pemikiran saya dan teori hukum yang ada. Sy yakin bahwa Mochtar dan Alm Satjipto dipengaruhi oleh filsafat barat dan sya hanya menegaskan bahwa PS justru harus dijadikan rujukan utama ketika berteori hukum dalam konteks ke Indonesiaan karena sekalipun sebaik-baiknya teori barat pasti berasal dan dipengaruhi oleh perkembangan peradaban barat dn tidak harus dan tdk dpt cocokkan dengan kondisi sobural masyarakat Indonesia
ReplyDeleteDalam satu obrolan ringan dengan Prof Dr Arief Sidharta almarhum, saya bertanya: "bagaimana tanggapan Prof Arief tentang teori hukum integratif", beliau menjawab silahkan tanya Sidharta. Ketika kembali saya bertanya: "apa komentar Prof Arief tentang Prof Mochtar Kusumaatmadja" beliau menjawab pemikiran pak Mochtar yang sekarang berbeda dengan yang dulu, terus berkembang dan semakin konsen membicarakan hubungan antara hukum dan Pancasila. Akhirnya beliau memberi nasihat seraya mengutip pendapat ahli hukum, "seyogyanya kamu memahami teori hukum dalam arti kontemplatif dan empiris. Melalui kontemplatif kamu akan diajak mengarungi panorama filosofis, sedangkan melalui empiris akan diajak mengarungi panorama dogmatis". Keduanya sangat penting dalam kehidupan ini lanjutnya. Saya hanya tertegun sambil menatap kedua mata beliau, betapa beliau seorang Guru Besar Filsafat Hukum yang digambarkan seolah berada diawang-awang ternyata tetap memiliki pijakan di bumi.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete