Oleh SHIDARTA[1]
Di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita terdapat pasal-pasal yang mengatur
tentang tindak pidana kesusilaan (lihat misalnya Pasal 281-283). Menarik, bahwa
pasal-pasal ini tidak secara rigid menetapkan apa yang menjadi objek norma (normgedrag), kecuali sekadar mengatakan
“melanggar kesusilaan”. Perbuatan mana yang dikateogrikan melanggar dan tidak
melanggar kesusilaan, sepenuhnya diserahkan pada konteks ruang dan waktu saat
peristiwa itu terjadi. Boleh jadi, suatu perbuatan di suatu daerah pada kurun waktu
tertentu dianggap melanggar kesusilaan, sementara di daerah lain dan/atau pada
kurun waktu berbeda, tidak [lagi] dianggap melanggar kesusilaan.
Demikian halnya juga dengan etika. Pertanyaan tentang etika sudah dimulai sejak filsafat itu sendiri lahir. Pertanyaan tentng “apa yang seyogianya saya lakukan?” (what should I do?) dan “apa cara terbaik bagi saya dalam menjalankan hidup ini?” (what is the best way for me to live?) adalah pertanyaan standar dalam etika. Ada sinyalemen bahwa pertanyaan ala Socrates seperti itu tidak dapat dijawab karena konotasinya bisa beranekaragam. Namun, Bernard Williams menyatakan pandangan seperti itu keliru karena pertanyaan-pertanyaan demikian tetap bisa dijawab, asalkan dikaitkan dengan suatu kejadian (on a given occasion). Selengkapnya ia mengatakan:[2]
Some philosophers have supposed that we cannot start from this general or indeterminate kind of practical question, because questions such as “what should I do”, “what is the way for me to live?”, and so on, are ambiguous and sustain both a moral and a nonmoral sense. On this view, the first thing one would have to do with the question is to decide which of these two different kinds of thing it meant, and until then one could not even start to answer it. That is a mistake. The analysis of meanings does not require “moral” and nonmoral” as categories of meaning. Of course, if someone says of another “he is a good man,” we can ask whether the speaker means that he is morally good, as contrasted, for instance, with meaning that he is a good man to take on a military sortie---but the fact that one can give these various interpretations no more yields a moral sense of “good” or of “good man” than it does a military sense (or a football sense, etc.). One can of course ask, on a given occasion, “what should I do from an ethical point of view?” or “what should I do from a self-interested point of view?” These ask for the results of subdeliberations, and invite one to review a particular type of consideration among those that bear on the question and to think what the cosiderations of that type, taken by themselves, support.
Dengan
demikian, kita selayaknya tidak mempersoalkan apakah pergeseran itu ada atau
tidak, mengingat perubahan ruang dan waktu adalah keniscayaan. Suatu
keniscayaan pula dalam perubahan itu terjadi pergeseran nilai-nilai yang pada
gilirannya patut diperhitungkan sebagai pergeseran etika dalam kehidupan
berbangsa. Apakah pergeseran etika itu membawa dampak baik atau buruk, tidak
dapat terjawab tanpa dikorelasikan dengan konteks ruang dan waktu yang
membingkai pergeseran itu.[3]
Tulisan ini ingin berangkat dari kerangka berpikir tersebut. Oleh sebab itu, fokus
analisis sebenarnya tidak sekadar ditujukan untuk memetakan dampak pergeseran
tersebut, melainkan lebih jauh lagi, yaitu: bagaimana bangsa ini harus
menyikapi dampak pergeseran etika dalam kehidupan berbangsa?
Makna Etika dalam Kehidupan Berbangsa
Kata
“etika” memiliki sejumlah makna. Secara umum, etika dipandang sebagai satu cabang
filsafat nilai (aksiologi). Dalam filsafat nilai ini, selain etika (filsafat
perilaku atau filsafat moral), juga terdapat estetika (filsafat keindahan).
Dalam keseharian, etika bisa juga diartikan sebagai produk, sehingga muncul terminologi
kode etik profesi, yaitu kumpulan norma yang mengatur “the do’s and the don’t’s” suatu profesi. Norma dalam suatu kode
etik profesi ditetapkan secara mandiri (self-regulation)
oleh para penyandang profesi tersebut. Di dalamnya terkandung visi-misi
profesi, termasuk segala tradisi yang menyertainya. Tujuannya tidak lain adalah
untuk mempertahankan kehormatan profesi itu.
Harus juga dicermati bahwa etika berbeda dengan etiket karena istilah yang terakhir ini mengacu pada kesopansantunan bersikap-tindak dalam situasi tertentu, sehingga terdapat istilah etiket berlalu lintas, etiket bertamu, etiket bertelepon, dan sebagainya. Dibandingkan dengan kode etik yang ideal dan visioner, etiket lebih pragmatis dan situasional.
Kata “etika” dalam judul tulisan ini, tentu tidak dimaksudkan sebagai etiket atau sopan-santun dalam kehidupan berbangsa. Etika di sini lebih dimaknai sebagai produk yang berangkat dari nilai-nilai ideal dan visioner. Etika adalah kesadaran etis kita tentang keindonesiaan, yang oleh banyak kalangan akhir-akhir ini dipandang makin mengkhawatirkan. Mengingat demikian luasnya spektrum kesadaran etis itu, maka dalam tulisan ini sengaja dipersempit maknanya (walaupun masih tergolong sangat luas), yaitu kesadaran tentang hakikat suatu bangsa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ernest Renan, bahwa bangsa adalah suatu kumpulan besar manusia yang sehat jiwanya dan berkobar-kobar hatinya, yang di dalamnya timbul suatu kesadaran batin. Selama kesadaran batin itu menunjukkan kekuatannya dengan kerelaan berkorban para individu bagi kepentingan masyarakat, maka kesadaran batin tadi sah dan mempunyai hak untuk hidup.[4]
Kesadaran batin yang dimaksud oleh Renan ini berkelindan dengan kesadaran untuk hidup bersama, senasib sepenanggungan. Dengan perkataan lain, kemampuan untuk memelihara kesadaran sebagai suatu bangsa ini hanya dapat dipertahankan sepanjang masih ada marwah yang sehat dan kuat untuk rela hidup senasib dan sepenanggungan sebagai satu bangsa. Marwah ini dipelihara melalui solidaritas kebangsaan, yang dalam tulisan ini disebut sebagai solidaritas keindonesiaan. Solidaritas keindonesiaan ini dengan demikian merupakan tali-temali yang membentuk lingkaran, mengikat dan mempersatukan semangat keindonesiaan itu. Ikatan tali-temali ini bisa saja menguat dan mengendor, bahkan bisa lepas berantakan, tatkala menghadapi peluang dan tantangan yang terus menerus menerpa kehidupan berbangsa kita.
Peluang dan tantangan kehidupan berbangsa---tidak hanya untuk bangsa Indonesia--- memang benar-benar diuji dengan keras pada era sekarang ini. Selepas berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Timur, dunia seperti dihadapkan pada arus deras globalisasi. Arus besar zaman tersebut bagaikan air bah yang terjun dari puncak gunung, berhadapan dengan kesadaran etis kita sebagai bangsa. Dalam kesadaran etis itu ada pagar pengaman yang dapat kita sebut sebagai solidaritas keindonesiaan. Solidaritas ini cenderung aman apabila ia dibangun dengan kokoh dan cukup luas untuk mengakomodasi limpahan air yang datang secara terus-menerus. Namun, karena hantaman arus ini demikian keras, maka percikan-percikan air itu ternyata tidak seluruhnya tertampung di dalam koridor solidaritas keindonesiaan itu. Percikannya bisa ke segala arah. Ada percikan-percikan yang jauh melompat, memasuki koridor yang lain, yakni lingkaran-lingkaran solidaritas yang lebih sektarian, yang kita sebut sebagai solidaritas perkauman. Tentu saja, dalam beberapa hal selalu ada irisan di antara kedua solidaritas tersebut.
Fenomena
yang digambarkan dalam visualisasi tersebut sesungguhnya sudah dipesankan di
dalam petuah nenek moyang kita. Dalam khazanah Minangkabau dikenal pepatah yang
berbunyi: “air besar batu bersibak”. Ungkapan ini mengajarkan suatu filosofi
bahwa pada saat arus air datang dengan kekuatan besar, maka batu-batu di
bawahnya akan bergeser mengelompok menurut ukurannya masing-masing. Batu-batu
yang lebih kecil dan ringan berbentuk butiran-butiran pasir, akan terlempar
lebih jauh. Sebaliknya, batu-batu yang lebih besar dan kokoh akan bertahan atau
bergeser ke tempat paling dekat.
Begitulah kehidupan bermasyarakat. Ketika terjadi kegoncangan sosial, maka secara naluriah masyarakat akan berpencar mencari tempat ke dalam kelompok sosialnya masing-masing. Globalisasi adalah arus besar zaman yang paling dekat dengan era kehidupan kita saat ini. Terlihat jelas betapa arus ini tidak hanya mengusung universalitas dan kosmopolitan, tetapi ironisnya juga mengarah ke tribalisasi dan primordialisme. Hal ini dapat dimaklumi karena tatkala arus besar datang, setiap orang ingin mencari posisi paling menguntungkan agar dirinya tidak hanyut terbawa arus. Setiap orang tidak ingin kehilangan jati dirinya di tengah arus yang deras itu. Kalaupun ia ikut terhanyut, minimal pada saat-saat tertentu ia masih punya pegangan pada ranting pohon, atau bahkan akar-akar rumput di sekitarnya. Pegangan yang paling mudah ditemukan dan paling menyamankan diri adalah ikatan-ikatan primordial, yakni kohesi yang dibangun melalui solidaritas sektarian.
Etika dalam kehidupan berbangsa, dengan demikian, adalah nilai-nilai yang berfungsi memberikan preferensi moral (moral preference) dan perekat bagi sendi-sendi kehidupan seluruh bangsa. Etika dalam kehidupan berbangsa harus diposisikan sebagai bangunan sinergis di atas preferensi ikatan-ikatan primordial tadi. Keberadaannya sangat sentral untuk menginspirasi semua nilai-nilai sektarian agar mereka mendekatkan diri (sentripetal) dan berkontribusi positif bagi lahirnya satu solidaritas kebangsaan. Apabila ada sekelompok warga masyarakat yang pilihan personalnya menawarkan preferensi nilai-nilai yang justru menjauhkan diri (sentrifugal) dari etika dalam kehidupan berbangsa ini, maka nilai-nilai ini harus cepat dikoreksi melalui mekanisme yang disepakati dan dihormati.
Peta Dampak
Pergeseran seperti
dipaparkan di atas, pasti membawa dampak. Satu pertanyaan penting terkait
pergeseran ini adalah: bagaimana dampak itu harus dipetakan? Untuk menjawab
pertanyaan ini, ada sebuah teori menarik yang disampaikan oleh Gert H. Mueller.
Apabila pemikirannya diikuti, maka Mueller meyakini pergeseran terjadi pada domain
empiris (empirical domains), yaitu dari
situasi ke orientasi. Pergeseran ini membentuk formasi sosial. Situasi di sini
menggambarkan keberadaan sosial (social
existence) yang secara perlahan bergerak menuju ke orientasi kesadaran
sosial (social consciousness). Dalam
skala yang paling mikro dapat diberikan contoh sederhana oleh Mueller, bahwa
kelahiran seseorang sebagai anak siapa, di mana, dan bilamana, suatu ketika akan
menentukan orientasi nilai-nilai yang dianutnya di kemudian hari.
Sebagai seorang ilmuwan sosial, Mueller kemudian menurunkan tiap-tiap bangunan domain empiris itu ke level-level berikutnya, sehingga pada akhirnya terdapat parameternya. Puncak dari kesadaran sosial suatu masyarakat (termasuk bangsa) adalah sistem budaya.[5] Menarik sekali bahwa fungsi budaya ini menurut Mueller adalah untuk menjaga objektivitas (konsistensi), yang kurang lebih sama dengan pandangan sosiolog Talcott Parsons bahwa sistem budaya itu berurusan dengan kelanggengan atau pemeliharaan pola (latency). Parsons pernah menggarisbawahi hal ini dengan menyatakan bahwa pemeliharaan pola berhubungan dengan orientasi kolektif (collectivity orientations) atau kewajiban solidaritas (solidarity obligations).[6] Kata-kata kunci seperti: orientasi, kolektif, dan solidaritas, muncul dalam wacana ini. Di dalam setiap sistem budaya, menurut Mueller, terdapat subsistem religi, ilmu, dan seni.
Mueller
mengatakan bahwa fondasi dari sistem budaya adalah tata moral (moral order), yang berisi nilai-nilai sebagai
buah dari komitemen dan kesepakatan bersama. Kebajikan moralitas (morality righteousness) berada dalam domain
ini. Mueller menyatakan subdomain kebajikan moralitas ini sebagai etika, yang
posisinya bersandingan dengan pandangan ideologis (ideology world-view) dan kesetiaan solidaritas (solidarity allegiance). Dalam domain tata
moral ini orang mempersoalkan tentang salah-benar secara moral, baik-buruk
secara ideologis,[7]
dan kawan-lawan secara solidaritas sosial.
Semua hal yang disebutkan di atas merupakan orientasi kesadaran sosial. Orientasi ini dibentuk dari situasi sosial. Dengan perkataan lain, tidak akan ada orientasi sosial tanpa basis sosial yang mengacu pada ruang dan waktu tertentu. Situasi sosial tersebut, oleh Mueller, dibagi lagi menjadi tata sosial dan basis alamiah. Ada tiga subdomain dari tata sosial, yang masing-masing terjadi di struktur kekuasaan negara, struktur permodalan/kelas sosial, dan struktur pekerjaan. Sementara itu, pada basis alamiah terdapat tiga subdomain juga, yaitu demografi, ekologi, dan geofisika. Apabila keseluruhan skema Mueller itu diilustrasikan kembali, maka akan tampak ragaan seperti terlihat di bawah ini:
Oleh karena
orientasi berlandaskan pada situasi. Pergeseran etika, dengan demikian,
berangkat dari orientasi yang lahir dari tata moral. Dalam pergeseran etika,
secara simultan akan terjadi pergeseran nilai-nilai ideologi dan nilai-nilai
solidaritas sosial. Tesis ini cukup dapat diterima dalam konteks yang terjadi
di Indonesia saat ini, karena pergeseran etika berbangsa memang juga secara simultan
dan kasatmata menampilkan pergeseran pula dalam berideologi. Bangsa ini seperti
terjangkit penyakit posmodern, yang mempromosikan pengakhiran ideologi (the end of ideology). Ideologi
Pancasila nyaris tinggal menjadi simbol dekoratif bagi bangsa ini. Kebanggaan
dan rasa memiliki terhadap ideologi bangsa makin memudar.
Demikian juga dengan solidaritas sosial yang kerap mengidentifikasi kawan dan lawan secara irasional. Solidaritas kebangsaan dikalahkan oleh solidaritas perkauman, yang kebanyakan justru dibangun oleh sentimen-sentimen primordial atas dasar kesamaan agama, etnisitas, kesukuan, kedaerahan, dan lain-lain.[8] Solidaritas perkauman ini terjadi karena bangsa ini memang mengalami masalah dalam struktur kekuasaan negara, struktur kekayaan (permodalan/kelas sosial), dan struktur pekerjaan.
Struktur kekuasaan negara (ketatanegaraan) kita telah banyak berubah setelah UUD 1945 diamandemen pertama kali pada tahun 1999 dan kemudian pada tahun 2000. Sampai saat tulisan ini dibuat, perubahan UUD 1945 sudah berlangsung empat kali. Akibat dari perubahan itu, ada lembaga tinggi negara dihilangkan atau berubah fungsi, dan ada pula yang dimunculkan. Perubahan ini konon untuk menopang prinsip checks and balances.
Sayangnya, setelah perubahan tersebut lembaga-lembaga tersebut tetap belum memperlihatkan kinerja yang membanggakan, melainkan justru saling melemahkan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang didesain menggantikan model Fraksi Utusan Daerah di era Orde Baru, yang diharapkan dapat berkontribusi memperjuangkan kepentingan daerah berhadapan dengan dominasi pusat, pada kenyataannya tidak diberi posisi tawar yang kuat dalam sistem ketatanegaraan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang kini memiliki amunisi kekuasaan baru pasca-amandemen UUD, belum mampu menunjukkan kualitas berpolitik yang menyejukkan. Proses-proses politik di dewan terhormat ini tetap kental dengan nuansa transaksional. Contoh lain adalah Komisi Yudisial. Lembaga baru ini sengaja dikreasikan di dalam konstitusi untuk mengangkat martabat profesi hakim, ternyata direduksi secara bertahap kewenangannya dari waktu ke waktu.[9] Eksperimen ketatanegaraan memunculkan paradoks di mana-mana. Konstelasi perpolitikan di Indonesia di satu sisi menunjukkan ciri-ciri egalitarian, namun pada saat bersamaan juga menampilkan elitisme dengan lahirnya dinasti perpolitikan di sejumlah daerah. Partai-partai politik tumbuh tenggelam, tetapi keberadaan mereka sama sekali tidak berkorelasi positif dengan kelahiran baru figur-figur pemimpin yang handal dan mampu merebut kepercayaan publik. Kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara dan aparatur di dalamnya juga tidak kunjung meningkat, seiring dengan merebaknya korupsi berjamaah, suap-menyuap, dan berbagai skandal penyalahgunaan wewenang lainnya.
Hal lain adalah tentang struktur kekayaan (permodalan/kelas sosial) yang juga tidak menggembirakan. Aspek ini bersinggungan erat dengan isu-isu penguasaan perekonomian dan distribusi kekayaan (pemerataan kesejahteraan). Jika indeks Global Wealth Report (2015) dijadikan sumber data, maka indeks terkait struktur kekayaan untuk Indonesia adalah 73,6, sedangkan di Asia rata-rata sebesar 62,7 dan di seluruh dunia rata-rata 63,8. Hal ini menunjukkan distribusi kekayaan di Indonesia tergolong paling buruk dibandingkan dengan banyak negara (bandingkan dengan Malaysia 69,6; Thailand 67,4; India 65,5; Korea Selatan 53,4; dan Tiongkok 52,2). Indikator ini menyimpulkan bahwa Indonesia memerlukan adanya perubahan substansial dan struktural serta perlu terus mengoptimalkan pertumbuhan untuk memperbaiki distribusi kekayaan di antara penduduknya.[10] Indonesia juga berkontribusi signifikan terhadap kondisi ketidakmerataaan distribusi kekayaan di dunia. Kondisi saat ini di dunia memperlihatkan bahwa 50% kekayaan global ada di tangan satu persen penduduk saja. Indonesia menyumbang 49,3% atas kondisi ini. Dalam kurun waktu antara tahun 2000-2016, pertumbuhan kekayaan di Indonesia meningkat pesat, sekalipun terjadi depresiasi mata uang rupiah. Jika dibandingkan dengan India pada kurun waktu yang sama, Indonesia yang memiliki tingkat kekayaan serupa dengan negara itu per kapita orang dewasa, ternyata pada tahun 2016, jumlah kekayaan per kepala sudah dua kali lipat dibanding dengan yang terjadi di India. Properti adalah harta kekayaan yang paling besar persentasenya di Indonesia, mencakup 88 persen dari total aset yang dimiliki.[11]
Struktur pekerjaan adalah persoalan lain lagi. Menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS) sampai Agustus 2014, jumlah penduduk Indonesia usia kerja (15 tahun ke atas) sebesar 183 juta orang. Dari jumlah itu hanya 121,8 jiwa yang merupakan angkatan kerja. Dari 121,8 jiwa itu sebanyak 114,6 juta saja yang benar-benar bekerja. Selebihnya ada 7,2 juta orang yang menganggur. Perlu dicatat bahwa dari jumlah yang bekerja sebanyak 114,6 juta jiwa itu, ternyata yang bekerja penuh hanya 68,8%, selebihnya ada yang bekerja tidak penuh (31,2%), setengah menganggur (8,4%), dan bekerja paruh waktu (68,8%). Mereka yang tergolong bekerja ini mengisi lapangan pekerjaan pertanian (34%), perdagangan (21,6%), jasa kemasyarakatan (16,1%), industri pengolahan (13,3%), konstruksi (6,4%), transportasi, pergudangan, dan komunikasi (4,5%), keuangan (2,6%), dan lain-lain (1,5%). Jika komposisi di atas dikorelasikan dengan status pekerjaan mereka, maka sebagian besar para pekerja itu merupakan buruh/karyawan (42,4%), diikuti dengan berusaha sendiri (20,5%), berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap (19,3%), pekerja keluarga/tidak dibayar (16,8%), pekerja bebas di nonpertanian (6,4%), pekerja bebas di pertanian (5,1%), dan berusaha dibantu buruh tetap (4,2%).[12] Data tersebut memperlihatkan bahwa struktur pekerjaan di Indonesia memang masih didominasi oleh pekerja di sektor pertanian dan perdagangan (55%), tetapi dapat diasumsikan mereka yang bekerja di kedua sektor inipun bukan sebagai pemilik melainkan sebagai buruh tani atau karyawan. Memang ada sekitar 20% yang memiliki usaha sendiri, namun dengan distribusi kekayaan yang tidak ideal, jenis usaha yang ditekuni biasanya berskala kecil atau menengah.
Lalu, apakah situasi tata sosial yang disinggung di atas senantiasa memperlihatkan kemuraman dan pesimisme? Seharusnya tidak, karena kendati tata sosial masih belum memperlihatkan situasi yang sehat, ada kekuatan dalam basis alamiah (natural basis) yang potensinya sangat luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dari aspek kependudukan, diperkirakan Indonesia akan mengalami bonus demografi. Menurut data Biro Pusat Statistik, pada tahun 2019, penduduk Indonesia diperkirakan bakal berjumlah 268,1 juta orang. Dari jumlah ini, yang berkelompok umur 15-64 tahun akan mencapai 181,3 juta jiwa. Sementara penduduk yang usianya di bawah itu sebesar 70,6 juta jiwa dan yang berusia 65 tahun ke atas mencapai 16,1 juta jiwa. Komposisi penduduk Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini tercatat lebih banyak menetap di perkotaan daripada pedesaan. Hal ini mencerminkan ada ketidakseimbangan dalam distribusi kesempatan berusaha dan menikmati kesejahteraan antara kota dan desa. Komposisi ini berdampak pada perubahan gaya hidup, yang pada gilirannya akan mengubah orientasi mereka terkait kebajikan moralitas dan kesetiaan solidaritas.
Dari sisi ekologi, Indonesia memiliki kelimpahan sumber daya alam. Hutan, misalnya. Kendati tingkat destruksinya juga sangat tinggi,[13] Indonesia adalah satu dari tiga negara di dunia yang masih “memelihara” hutan tropisnya sebagai paru-paru dunia. Situasi ini selayaknya menjadikan Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat untuk mengajak dunia berpaling mendukung program-program pembangunan yang berkelanjutan. Perhatian dunia terhadap lingkungan hidup di Indonesia antara lain dapat diamati dengan melihat nilai perdagangan karbon yang berhasil diterima oleh Indonesia.[14]
Geofisika adalah modalitas lain yang tidak perlu diragukan lagi. Kekayaan bumi Indonesia tidak hanya berpusat di darat, tetapi juga sampai ke dasar laut. Selama ini, pusat perhatian masyarakat seolah hanya terarah kepada cadangan minyak bumi, yang memang sedang menuju ke masa senjanya.
Total cadangan minyak bumi Indonesia (terbukti dan potensial) tahun 2013 mencapai 7,55 miliar barel. Pada tahun berikutnya, capaian ini menurun menjadi 7,38 miliar barel sebagai akibat dari penemuan cadangan minyak bumi baru yang lebih rendah dibanding dnegan produksinya. [15] Namun, banyak pihak optimistis Indonesia dapat kembali berjaya di sektor ini, di samping kesempatan yang sangat terbuka untuk mengeksploitasi sumber-sumber geologi dan geofisika lainnya. Kita patut berharap tesis kutukan (curse thesis) tidak terjadi untuk negeri ini. Pengemuka tesis ini, Richard M. Auty tampaknya juga percaya Indonesia tidak termasuk negara kaya sumber alam yang harus terkutuk karena kekayaannya itu. Ia menulis sebagai berikut:[16]
Compared with other developing countries, the economic growth rate of all four mineral economies [maksudnya: Chile, Peru, Bolivia, dan Jamaica, SHIDARTA] was slower than the developing country average and the mineral economies’ subsequent growth slowdown was even steeper than the developing country average. Yet, disappointing as the overall response of the four countries to the price shocks was, the resource curse thesis is not a law, merely a tendency. For example, the resource-rich Asian countries like Malaysia and Indonesia made better use of their endowment in terms of economic growth, export diversification and structural change.
Bagaimana Menyikapi?
Uraian di
atas memperlihatkan pandangan bahwa situasi memang dapat membentuk orientasi.
Dengan perkataan lain, dasar dari perubahan orientasi adalah situasi. Pergeseran
etika, dengan demikian, hanya mungkin terjadi apabila ada perubahan-perubahan
dalam situasi, yang mencakup tata sosial dan basis alamiah. Pergeseran etika
berkarakter negatif terhadap solidaritas kebangsaan kita hanyalah sekadar
akibat dari perubahan situasi yang tidak dikelola dengan baik.
Terlihat bahwa memang ada potret situasi yang mengkhawatirkan di Indonesia akhir-akhir ini. Siatuasi ini memiliki energi sangat dahsyat (“arus besar”) untuk mampu mengubah orientasi (“batu bersibak”). Domain terdekat dari orientasi yang akan tergeser adalah tata moral, mencakup pilihan personal, pilihan ideologi, dan pilihan moral. Pergeseran-pergeseran ini sudah kasatmata terdeteksi dan benar-benar telah terjadi saat ini. Merebaknya isu-isu primordial di seluruh Indonesia, sehingga membahayakan semangat solidaritas keindonesiaan atas dasar kebhinneka-tunggal-ikaan, adalah bukti otentik dari pergeseran etika kehidupan berbangsa tersebut. Pada gilirannya kita juga mulai menyaksikan bahwa pergeseran itu sampai pula pada sistem budaya, yang mencakup pola-pola berkesenian, berkeilmuan, dan berkeagamaan. Seni, ilmu, dan agama akan berorientasi makin sempit dan sektoral, kerap dijadikan komoditi untuk tujuan politik praktis atau untuk menjustifikasi tatanan moral yang tidak ideal tadi. Para rohaniawan, ilmuwan, dan seniman, bahkan dilakoni secara organisatoris dan berkelompok, tidak lagi benar-benar berani objektif menyatakan kebenaran menurut keyakinan iman, ilmu, dan suara hati masing-masing, karena ingin berhitung untung-rugi atau demi popularitas sesaat.
Apabila dalam teori Mueller dikatakan bahwa situasi itulah yang melandasi kelahiran orientasi, maka cara pandang ini sesungguhnya hanya melihat arah perubahan dari satu jurusan. Dalam ranah sosiologi, pandangan Mueller tentang formasi sosial ini dapat dikategorikan ke dalam tesis cermin (mirror thesis) yang memakai konsepsi statis norma sosial (static conceptions of social norms). Konsepsi ini menawarkan konsensus antara rasionalitas dan nilai, sebagaimana diintroduksi antara lain oleh Emile Durkheim dalam bukunya The Division of Labor in Society. Dalam buku itu, Durkheim membedakan antara solidaritas mekanis dan solidaritas organis.[17] Solidaritas mekanis hadir dalam masyarakat yang berbagi nilai-nilai yang sama, sebaliknya solidaritas organis eksis dalam masyarakat yang sudah terdiferensiasi dalam berbagai pekerjaan dan berbagai nilai-nilai yang berbeda. Durkheim meyakini solidaritas mekanis akan menuju pada hukum represif, sebaliknya solidaritas organis mengarah kepada hukum restitutif.[18]
Pandangan Mueller memang tidak sepenuhnya keliru karena dalam banyak hal cara pandang bangsa Indonesia harus diakui sungguh-sungguh berangkat dari basis alam ini. Basis alamiah yang “memanjakan” kehidupan, cenderung membuat bangsa ini tidak cukup antisipatif dalam menyikapi tantangan. Apabila ditimpa bencana, maka reaksi yang muncul lebih terbatas pada upaya menyembuhkan diri dari dampak bencana, bukan dalam rangka mempersiapkan diri untuk menyambut kemunculan bencana berikutnya. Jangan heran apabila bencana seperti banjir, tanah longsor, pembakaran hutan, datang berkali-kali tanpa komitmen kuat dari pejabat yang berwenang. Keputusan-keputusan pejabatnya tidak mampu menggerakkan massa untuk terlibat aktif mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku mereka.
Hal ini mengingatkan pada sebuah esai yang ditulis untuk seminar sejarah di Yogyakarta (1957) oleh seorang intelektual Indonesia terkemuka, Soedjatmoko. Ilmuwan yang pernah menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo ini mempersoalkan kecenderungan keputusan-keputusan pejabat yang tidak punya rasa hayat historis (a-historisch levengevoel). Lengkapnya ia menyatakan:[19]
Tidak sukarlah untuk melihat betapa besar pengaruh pandangan hidup ini [maksudnya: pandangan hidup “a-historisch levengevoel,” SHIDARTA], atau bekas-bekasnya, dalam masyarakat kita sekarang. Kita dapat melihatnya dalam gaya berpolitik kita, kadang-kadang dalam kecilnya rasa urgensinya untuk mengambil keputusan, untuk mengambil tindakan yang onherroepelijk [kuasa yang tak dapat dicabut, SHIDARTA] dan kecilnya perasaan, bahwa keputusan-keputusan yang diambil itu mungkin sekali mempengaruhi, bahkan kadang-kadang menentukan jalannya sejarah dan hari depan kita. Meskipun secara rasional hal itu memang disadari. Pokoknya, sifat menentukan yang terkandung di sini dan kini, serta tanggung jawabnya yang berakar di dalamnya, tidak diterima, sebab memang tidak terasa.
Kekhawatiran Soedjatmoko ini layak
diangkat kembali untuk menyadarkan kita bahwa orientasi sebenarnya dapat juga
mengubah situasi. Orientasi ini dibentuk melalui keputusan-keputusan para
pejabat publik untuk mampu mengubah tata sosial kita, sehingga lambat laun tata
sosial itu tahu pula bagaimana harus memanfaatkan basis alamiah yang ada. Apa
yang terjadi pada kasus Freeport dan Newmount sungguh-sungguh memberi pelajaran
berharga bagi bangsa ini tentang bagaimana suatu keputusan yang tidak bijak
telah berdampak sangat destruktif bagi kehormatan bangsa ini di mata dunia dan juga
di depan publik domestik negeri ini. Pembuat kebijakan di masa lalu telah
memutuskan sesuatu yang tidak berangkat dari rasa hayat historis (a-historisch levengevoel), sehingga
melupakan bahwa kekayaan alam itu tidak boleh dinikmati oleh segelintir
penguasa, melainkan juga wajib diwariskan bagi generasi-generasi berikutnya
dari bangsa ini.
Kita patut meyakini bahwa etika dalam kehidupan berbangsa tidak boleh tunduk pada situasi apa adanya. Etika berbangsa juga seharusnya dapat didesain ulang. Di sinilah sebenarnya terletak peran hukum yang sama sekali tidak disinggung oleh Mueller di dalam teori formasi sosialnya itu. Padahal, hukum positif (yuridis) dan pra-positif (metayuridis) memiliki fungsi perekayasaan sosial (social engineering) untuk mengubah situasi (social existence) dan orientasi (social consciousness) dalam kehidupan berbangsa.
Untuk mengisi kekurangan dari teori Mueller ini, dapat disajikan suatu ragaan yang menjelaskan hubungan antara situasi, orientasi, dan norma (hukum). Apa yang dikemukakan oleh Mueller dengan teori formasi sosialnya, merupakan pola-pola perilaku (nomos) yang terjadi sebagaimana adanya dalam masyarakat. Nomos ini penting dalam konteks pembentukan hukum karena bahan-bahan inilah yang secara material diolah untuk diformulasikan menjadi norma-norma hukum. Ada nomos yang langsung dapat diformat menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis, tetapi ada nomos yang tidak cukup siap diformat menjadi hukum positif. Nomos seperti ini ditempatkan dulu dalam laci tersendiri, yaitu berupa norma hukum pra-positif yang berlaku secara metayuridis. Norma hukum pra-positif ini biasa dikenal sebagai ius constituendum.
Dalam
ragaan tersebut, ditunjukkan bahwa antara nomos dan norma senantiasa terjadi
hubungan saling mempengaruhi. Asumsi bahwa apa yang terjadi di dalam nomos akan
langsung diadopsi ke dalam norma seperti dikemukakan oleh tesis cermin (mirror thesis), sudah ditinggalkan.
Pada kenyataannya selalu ada proses seleksi dan interaksi ketika nomos harus
ditransformasi menjadi norma. Dalam struktur kekuasaan yang sehat, proses
seleksi nomos ini tidak sepenuhnya berada di tangan penguasa tunggal. Penguasa
yang baik akan membuka ruang dialogis demi hadirnya norma hukum positif yang
menampung semua kepentingan. Norma hukum positif memang tidak selalu dapat
menyenangkan semua pihak, tetapi semua pihak perlu didengar aspirasinya dan
diberi argumentasi yang jelas mengapa suatu kepentingan harus ditunda dulu demi
suatu tujuan yang lebih penting dan mulia. Tidak ada salahnya,
kepentingan-kepentingan yang tertunda ini diposisikan dulu sebagai norma yang
dicita-citakan (ius constituendum)
dan sewaktu-waktu dapat dipositifkan. Hakim yang mengadili kasus-kasus konkret,
terbuka pula untuk memberi tafsir futuristis mengikuti pandangan metayuridis
tersebut.
Jadi sekali lagi, ketika kita berbicara tentang etika berbangsa, ia bisa berupa moralitas sebagai sumber etika yang bersemayam sebagai tata moral. Ini adalah orientasi di dalam nomos (pattern of behavior) sebagai kekayaan formasi sosial. Etika berbangsa seperti ini bertugas memberi masukan bagi norma. Tatkala dinormatifkan, maka etika ini tidak lagi sepenuhnya pesis sama dengan etika saat berada di dalam nomos. Inilah etika yang muncul sebagai bentuk normatif (pattern for behavior) yang seyogianya sudah didesain untuk kepentingan yang lebih mulia, bahkan dalam banyak hal juga kepentingan untuk mengubah nomos; mengubah dari situasi yang belum ideal menjadi situasi yang lebih ideal. Perubahan ini tidak berlangsung satu kali, melainkan terus-menerus. Fungsi ini telah lama disadari sebagai fungsi perekayasaan sosial (social engineering) yang terutama diemban oleh norma hukum positif.
Dalam derajat tertentu proses pengubahan itu memang memunculkan tarik-menarik kepentingan. Karl Marx menggambarkan ini di dalam teori konfliknya. Para sosiolog juga menyebutkan proses ini sebagai konsepsi dinamis dari norma sosial (dynamic conceptions of social norms). Namun, pandangan Marx bahwa “the have always come out ahead” tidak selalu harus diamini. Di sinilah demokrasi dapat menjadi jaminan terselenggaranya proses interaksi yang sehat antara norma dan nomos.
Penutup
Sebagai
penutup, ingin ditegaskan bahwa pergeseran etika dalam kehidupan berbangsa
merupakan konsekuensi logis dari dinamika kehidupan berbangsa itu sendiri.
Pergeseran terjadi karena pergantian ruang dan waktu tertentu (on given occasions). Setiap perubahan
pasti membawa dampak. Jika dipetakan dengan bantuan teori formasi sosial dari
Mueller, dampak pergeseran etika dapat menyentuh ke domain yang paling
konsisten, yaitu sistem budaya. Di dalam sistem budaya ini terdapat agama,
ilmu, dan seni. Dengan demikian, pergeseran etika berpotensi untuk bertahan
lama dalam format pemeliharaan pola-pola (latency).
Kaum rohaniawan, ilmuwan, dan seniman seyogianya menjadi garda terdepan menjaga
pola-pola ideal dalam etika kehidupan berbangsa ini, dan tidak selayaknya ikut
terseret arus, terombang-ambing dalam iklim politik situasional, dan terkurung
dalam solidaritas sempit sektarian (perkauman).
Pergeseran etika memang disadari tidak hadir secara serta-merta. Etika merupakan orientasi nilai yang berlandaskan pada situasi kemasyarakatan (social existence). Situasi ini, jika tidak dijaga dengan baik, lambat laun akan membentuk orientasi (social conciousness) yang bakal menjauh dari etika berbangsa. Gambaran formasi sosial seperti ini merupakan gambaran nomos. Formasi sosial seperti itu sebenarnya masih bersifat statis. Formasi yang statis ini perlu dilengkapi dengan memberi tempat pada peran norma. Dalam kehidupan berbangsa, norma hukum yang yuridis dan metayuridis memiliki fungsi perekayasaan sosial (social engineering) yang seyogianya mampu memberi dampak positif kepada perubahan nomos. Hanya saja, seberapa efektif fungsi ini dijalankan sangat bergantung pada situasi dan orientasi yang ada di dalam nomos. Di sini ada koridor ruang dan waktu yang ikut menentukan. Arus besar zaman dewasa ini, seperti globalisasi, berkontribusi besar menyibak formasi sosial kita, sehingga---karena tidak dipelihara dengan baik---telah mengganggu solidaritas keindonesiaan kita dan menjurus ke arah berbahaya menjadi solidaritas perkauman. Padahal ikatan solidaritas keindonesiaan inilah yang menurut Ernest Renan menjadi rasion d’ĆŖtre kita sebagai bangsa.
Tatkala rohaniawan, ilmuwan, dan seniman tidak lagi menjalankan peran tradisional mereka dengan baik, maka tugas ini tinggal berpulang di pundak para pejabat publik kita. Tatkala kita berharap norma dapat mengubah nomos yang tidak lagi ideal itu, maka harapan berada pada keputusan-keputusan para pemegang kekuasaan di negeri ini agar keputusan-keputusan normatif mereka dilandasi dengan apa yang disebut oleh Soedjatmoko sebagai “rasa hayat historis” (historisch levengevoel). Keputusan-keputusan tersebut, apakah berbentuk peraturan hukum atau putusan pengadilan, menuntut kesadaran etis yang tinggi dari para pejabat publik kita, bahwa di tangan, pikiran, dan hati merekalah terletak tugas sejarah untuk mengubah nomos bangsa ini. Mereka tidak boleh sekali-kali membuat keputusan yang lahir hanya semata-mata ingin menyenangkan nomos yang “sakit”, apalagi keputusan yang berangkat dari tekanan-tekanan publik (public pressures) yang tidak memiliki rasa hayat historis. (***)